Assalamuallaikum wr. wb.
Pak Ustaz, saya mau minta saran dari anda untuk uneg-uneg yang ingin saya utarakan. Sewaktu saya masih kecil saya hanya tahu bahwa agama saya Islam. Yang saya yakini bahwa saya dari lahir beragama Islam. Setiap hari di kampung saya kita menjalankan ibadah dengan damai di masjid yang kita cintai. Hingga suatu saat terjadilah hal, yaitu masuknya suatu aliran yang berbeda dari aliran yang biasa kita lakukan ke agama Islam kami yang pada saat itu saya belum mengetahui aliran apakah itu. Dan akhirnya saya tahu kalau aliran itu bernama ISLAM MUHAMMADIYAH, dan akhirnya saya juga baru mengetahui bahwasanya aliran yang saya pelajari dari kecil adalah ISLAM NU.
Yang jadi permasalahannya adalah: terjadinya perpecahan di kampung kami yang damai dikarenakan perselisihan saling menyalahkan atau menjelekkan aliran mereka masing-masing. Yang paling parah mereka saling bermusuhan karena perbedaan aliran mereka. Apakah mereka tidak malu dilihat oleh agama lain, masa sesama agama ISLAM saling bermusuhan.
Itulah Pak Ustaz sepenggal cerita dari permasalahan yang bisa saya sampaikan. Oleh karena itu Pak Ustaz bantulah saya untuk mendamaikan mereka, berilah saya saran agar saya bisa menyampaikan ke mereka semua. Dan menjadi kampung saya seperti dulu kala yang damai tanpa ada perselisihan sesama agama Islam.
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sesungguhnya tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan.
Kalau pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi mengatas-namakan kedua ormas itu.
Apalagi kalau dijadikan bahan perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas itu sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka, atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya, tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat pilihan.
Tidak pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah. Sebaliknya, tidak ada anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara dia lebih merajihkan pendapat tentang kesunnahan shalat shubuh.
Apalagi kalau kita mengingat bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan hak paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark yang unik dan membedakan jati dirinya.
Perbedaan itu lebih merupakan ‘hak’ Imam As-Syafi’i dengan gurunya, Imam Malik. Kedua ulama kakap ini memang berbeda pendapat tentang hukum qunut shalat shubuh. Imam As-Syafi’i setelah berijtihad dengan segala kemampuan dan ketinggian ilmunya mengatakan bahwa qunut shalat shubuh itu sunnah muakkadah. Itu hak beliau mengatakannya, lantaran beliau adalah ulama yang paling berkompeten bicara tentang hal itu.
Sebaliknya, Imam Malik sang guru berpendapat bahwa perbuatan itu justru bid’ah bila dilakukan. Tentu saja beliau pun pakar dalam bidangnya yang juga mengerahkan segala ilmunya hingga mencapai kesimpulan itu.
Kedua pendapat itu sama-sama kuat menurut pendukungnya. Sulit kita mematahkan argumentasi Imam As-Syafi’i begitu saja, sebagaimana sulit bagi kita untuk meremehkan pendapat Imam Malik.
Maka jadilah masalah ini masalah khilaf di kalangan umat. Yang masa saja mau dipilih, sama saja dan tidak perlu diributkan.
Sungguh salah besar bila di zaman sekarang ini ada orang merasa sok tahu, sok pintar dan sok alim, tiba-tiba menyalahkan satu pendapat dan membela pendapatnya sendiri, sambil mencaci maki atau melukai saudaranya dengan lidahnya.
Padahal tak satu pun manusia di muka bumi yang hidup di hari ini yang ilmunya mendekati kedua ulama besar ini. Jangankan setengahnya, sepersepuluhnya pun tidak. Jadi untuk apa semua pertengakaran itu? Apalagi sambil membawa-bawa nama ormas segala. Sementar Nahdhatul Ulama bukan ormas representasi ijtihad dan fatwa Imam Syafi’i. Sebagaimana Muhammadiyah juga bukan representasi ijtihad mazhab Malik.
Jadi siapa membela siapa, tidak jelas juntrungannya.
Terlebih lagi, sikap kedua ulama besar ini justru terbalik 180 derajat dengan perilaku kita di zaman ini. Keduanya ulama besar dan diakui dunia Islam sepanjang masa, tapi belum pernah kita dengar Imam Malik menghina muridnya, Imam As-Syafi’i. Apalagi sampai menuduhnya ahli bid’ah, calon penghuni neraka atau sesat.
Demikian juga sikap Imam Asy-Syafi’i, meski berbeda dengan pendapat gurunya, beliau tetap sangat hormat kepadanya. Tidak ada caci maki, tuduhan, hujatan atau bantah-bantahanseperti di masa sekarang ini.
Ilmu tidak seberapa, koleksi kitab terbatas, Al-Quran tidak hafal, ilmu hadits hanya contekan, ilmu ushul dan qawaidnya nol besar, wawasan hanya sejengkal, tapi lagaknya jauh lebih sombong ketimbang kedua ulama besar itu.
Maka dari pada meributkan masalah yang kita sendiri masih awam, lebih baik kita menuntut ilmu lebih dalam. Bukankah masih ada ribuan jiild kitab yang belum kita baca? Bukankah masih ada ribuan ulama besar yang belum kita datangi? Bukankah masih ada sekian luas ilmu yang belum kita sentuh? Mengapa kita harus merasa diri paling pintar dalam masalah agama?
Wallahu ‘alam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.