Assalumualaikum wr wb
Pak ustadz yang terhormat,
Selama ini ada hal-hal yang menjadi keraguaan saya, salah satunya adalah apakah berdosa bila kita melanggar peraturan yang dibuat manusia, seperti bila kita melanggar peratuaran lalu lintas, menyeberang sembarangan, buang sampah tidak pada tempatnya, dan lain-lain.
Dan bagaimana bila kita membeli barang dari orang-orang yang melanggar peraturan itu, seperti membeli sesuatu dari pedagang yang berjualan di trotoar di mana telah ada larangan untuk berjualan di sana.
Dan bagaimana dengan barang-barang yang menggunakan MERK PALSU, seperti pakaian yang menggunakan merk terkenal tetapi dijual murah karena dijual di tempat yang menengah ke bawah, karena biasanya barang-barang tersebut di buat lokal, tetapi mengguanakan merk terkenal.
Saya mohon bantuanya, dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alakum, wr, wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Peraturan yang dibuat manusia ada dua macam. Pertama, peraturan buatan manusia yang terkait dengan peraturan yang ditetapkan Allah. Kedua, peraturan buatan manusia tapi tidak terkait dengan peraturan yang ditetapkan Allah.
Peraturan Jenis Pertama
Peraturan jenis pertama, karena terkait dengan peraturan dari Allah, maka pelanggaran atas peraturan itu langsung terkait dengan hukum yang ditetapkan Allah. Misalnya, ada aturan di suatu tempat untuk tidak boleh minum khamar, berzina atau mencuri. Tentu peraturan itu terkait juga dengan ketetapan Allah SWT, karena Allah SWT juga mengharamkan minum khamar, berzina dan mencuri.
Pelanggaran atas peraturan ini jelas merupakan pelanggaran atas ketetapan Allah SWT. Maka hukumnya berdosa di sisi Allah selain juga mendapat hukuman dari manusia yang membuat peraturan.
Namun bisa juga terjadi sebaliknya, ada peraturan buatan manusia yang justru bertentangan dengan hukum Allah SWT. Misalnya, peraturan buatan manusia yang melarang wanita menutup aurat, atau melarang shalat atau melarang puasa wajib Ramadhan. Peraturan ini jelas melanggar aturan dari Allah SWT, sebab menutup aurat, shalat dan puasa adalah kewajiban dari Allah SWT.
Maka mentaati peraturan ini justru berdosa kepada Allah SWT, kecuali bila sampai titik darurat yang sudah tidak ada jalan keluar lagi, dalam hal ini Allah SWT masih memberikan toleransi, sebagaimana yang diberikannya kepada Ammar bin Yasir ra yang disiksa secara pisik dan psikis.
Peraturan Jenis Kedua
Sedangkan peraturan jenis kedua, yaitu peraturan yang tidak terkait dengan hukum Allah SWT secara langsung, masih bisa terbagi lagi. Setidaknya bisa kita bagi dua.
Pertama, kita tidak terikat secara langsung dengan peraturan itu. Kita hanya jadi orang yang tidak secara langsung terikat tetapi sesungguhnya kita tidak bisa dikaitkan dengan peraturan itu.
Contohnya, pengendara mobil CD (corps diplomat) punya kekhususan tersendiri yang tidak terikat dengan peraturan lalu lintas yang berlaku. Orang menyebutkan dengan istilah kekebalan hukum atau kekebalan diplomatik.
Kedua
Dalam kondisi kita terikat secara langsung dengan peraturan itu, maka kita wajib taat dan tunduk kepada peraturan itu.
Bayar Tiket Kereta
Misalnya, peraturan bahwa setiap warga boleh naik kereta api Jabotabek dengan syarat harus membayar sesuai dengan tarifnya. Maka kita wajib membayar, tidak boleh jadi penumpang gelap, apalagi membayar kepada kondektur. Juga tidak boleh naik ke atas gerbong. Ini yang namanya peraturan dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim.
Larangan Berdagang Sembarangan
Demikian juga dengan pedagang kaki lima. Mereka wajib taat kepada peraturan untuk tidak berjualan di tempat sembarangan. Akibatnya jelas sangat merugikan. Jalanan dan trotoar menjadi macet, orang lalu lalang menjadi terhambat, dan ini melanggar peraturan bersama.
Meski bukan berarti otomatis langsung haram, namun kalau semua orang sepakat tidak membeli dari kaki lima yang menghambat jalan, pasti besok-besok pedagang itu tidak akan menggelar dagangannya sembarangan.
Kita tidak perlu menggunakan vonis haram untuk mencegah ‘kebandelan’ pedagang kaki lima, tetapi kembali kepada kesadaran kita untuk ikut menertibkan para pedagang kaki lima itu, agar tidak membuat kemacetan. Kalau semua orang sepakat tidak membeli dari pedagang kaki lima yang bikin macet jalan, maka pasti pedagang itu akan kapok.
Boleh saja pemerintah menetapkan peraturan bahwa siapa saja yang membeli dagangan kaki lima yang salah tempat, akan dikenakan sanksi. Sayangnya, peraturan itu malah tidak ada, yang dilarang hanya berjualan saja.
Akan tetapi masalah pedagang kaki lima ini sangat kompleks, dari data dan wawancara langsung, kita menemukan mereka main salah-salahan dengan polisi dan tramtib, serta ditambah lagi dengan para preman setempat yang ternyata berperang menjadi backing.
Seharusnya preman itu yang dihabisi duluan, dipecah jaringannya dan dikembalikan ke jalan yang benar. Bukan dipelihara oleh oknum aparan untuk suatu saat dimanfaatkan. Rupanya bisnis premanisme sudah sangat menguntungkan, sehingga di mana-mana preman bermunculan karena deman (permintaan) pasarnya sangat tinggi.
Sengketa lahan kaki lima di Pasar Kebayoran Lama kemarin tidak lepas dari urusan dua gank preman yang ribut lahan. Padahal lahan itu jelas bukan buat kaki lima, juga bukan buat parkir, tetapi untuk jalan umum.
Peraturan Lalu Lintas
Demikian juga dengan peraturan lalu lintas, pada hakikatnya setiap warga negara wajib mentaatinya. Terlebih lagi seorang muslim yang baik. Karena peraturan itu dibuat untuk ketertiban, kemudahan dan kelancaran berkendara. Surat-surat kendaraan harus diurus, mulia dari STNK, SIM hingga perlengkapan berkendara seperti helm, sit belt, dan lainnya.
Seorang muslim yang baik tentu sadar bahwa semua itu bukan sekedar peraturan, melainkan cermin dari peradaban. Seorang yang sengaja tidak melengkapi semua itu bisa digambarkan bahwa pada jiwanya masih ada sisa-sisa peradaban masa lalu. Tidak punya SIM saat mengemudi bukan karena tidak punya uang tapi memang sengaja melanggar, tentu bukan sikap muslim yang patut untuk diteladani.
Apalagi bila dia seorang ahli dakwahyang seharusnya menjadi panutan umat. Kalau sosok panutannya saja adalah pelanggar peraturan (meski bukan termasuk pelanggaran berat), namun umat akan mencontoh dan mengidentikkan hal itu dengan ajaran Islam yang dibawanya.
Padahal mengurus SIM atau STNK bukan kejahatan apalagi dosa, sebaliknya malah sangat baik untuk ketertiban dan keamanan berkendara. Jangan pakai lagi alasan kalau bikin SIM tetap berdosa karena harus menyogok dan lainnya.
Mentaati semua peraturan lalu lintas memang bukan perintah Al-Quran secara langsung, juga tidak ada di dalam hadits Bukhari. Namun bukan berarti tidak perlu dilakukan, karena di mana-mana di dunia ini, semua warga negara yang baik pasti mentaati peraturan lalu lintas.
Merek Palsu
Memalsu mereka tentu melanggar undang-undang, selain merugikan konsumen. Dalam bab merugikan konsumen, memalsu merek jelas melanggar ajaran Islam. Perbuatan ini termasuk Ghisy (penipuan) yang secara prisip sangat dilarang.
Namun bagaiamana bila konsumen sudah tahu bahwa merek itu palsu? Apakah boleh membelinya?
Secara hukum dasar tentu saja boleh. Sebab unsur Ghiys sudah tidak terjadi. Kedua belah pihak sama-sama tahu keadaan barang dan nilai uangnya.
Tinggal masalah pelanggaran penggunaan merek dagang. Para ulama telah sepakat bahwa merek dagang termasuk bagian dari hak kekayaan intelektual yang wajib dijaga dan dilidungi. Memalsu merek dagang termasuk perbuatan mencuri yang diharamkan oleh para ulama kontemporer.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc