Assalamu’alaikum ustadz,
Sebelum mengutarakan pertanyaan, mungkin saya akan menceritakan tentang kondisi saya yang sangat rentan dan dekat dengan murka Allah.
Sampai detik ini, saya adalah seorang pengemban dakwah yang dikenal semangat dan suka mencharger orang untuk senantiasa istiqamah di jalan Allah. Sungguh ironis, ketika orang-orang mengenal saya sebagai orang yang kuat dan semangat di medan dakwah, di dalam saya sangat rapuh, rapuh dalam dakwah ke keluarga.
Hidupkanlah Islam pada dirimu, tentu hiduplah Islam di lingkunganmu. Saya banyak belajar dari hal-hal tersebut, coba hamba terapkan sedikit demi sedikit, karena memang porsi waktu saya untuk keluarga sedikit dibandingkan intensitas saya di luar rumah (saya adalah seorang anak ketiga dari tiga bersaudara).
Kekacauan di rumah adalah belum taatnya keluarga terhadap hukum-hukum Allah, sebagaimana yang saya sangat harapkan. Ya..saya sangat sadar terhadap proses yang dilalui keluarga saya, baik ayah, ibu maupun kakak saya yang berusaha mengimbangi saya. Tapi saya tidak pernah mempermasalahkan proses yang terjadi, saya sadar dan maklum sepenuhnya. Saya berusaha menemani mereka dalam berproses, sekaligus saya berproses untuk menjadi lebih baik dari hari kemaren.
Ketika proses menuju tegaknya Islam di keluarga menjadi sesuatu yang sudah menjadi agenda, dan keluarga saya memang sudah tahu misi saya, dakwah itu mengalir sewajarnya sebuah proses, walaupun tidak secepat proses seorang Khodijah ataupun Umar bin Khoththob dalam tunduk secara mutlak kepada hukum Allah.
Dalam dakwah yang mengalir itulah saya menghadapi ujian dari Allah, ujian yang benar-benar membuat saya merenung habis-habisan dan bahkan menanyakan kembali pemahaman saya selama ini.
Sasalah yang ada hanyalah masalah kecil, yang kemudian menjadi sangat besar dan sulit sekali untuk memaklumi masalah tersebut. yang membuat saya tersentak penuh kekagetan, dan bahkan membuat saya benar-benar memutuskan untuk hilang dari peredaran keluarga
Ustadz rakhimakumullah, sesungguhnya saya malu pada Allah, dan kepada anda untuk menceritakan masalah yang sangat sepele ini, namun hal ini sangat menggganggu keoptimalan dakwah saya, sehingga saya harus secepatnya berkonsultasi dengan seseorang dan terutama dengan Allah.
Saya baru 2 bulanan tinggal dengan orang tua, karena sebelumnya saya kost di Jogja untuk kuliah, dan memang sejak SD saya pisah dengan orang tua. Dua bulan di kota yang baru, dengan sebuah keluarga yang saya miliki, sungguh sesuatu yang agak asing bagi saya yang terbiasa bebas.
Terikat, sudah saya pertimbangkan dan saya siap dengan resiko itu.sebagai orang baru yang tinggal di kota besar, saya lumayan terkenal karena dalam waktu dekat sudah ada adek-adek yang mau belajar TPA ke rumah. Setiap hari mereka ke rumah. Awalnya tidak ada masalah. TPA berjalan lancar, dengan metode yang saya pake belajar sambil bermain.
Ada masalah ketika ada teguran dari tetangga yang hanya komentar sama ibu saya, "Wah rame sekali, bu." Ayah saya ga tahan dengan teguran tersebut, beliau membahasnya sampai pembahasan yang keterlaluan, kekhawatiran yang sangat dan diposisikan sebagai masalah yang sangat serius. Padahal teguran seperti itukan biasa, komentar seperti… wah cakep, wah jerawatan…wah rame… adalah teguran yang bersifat sapaan semata. Akhirnya saya nggak boleh TPA di rumah.
Dari sini saya mulai berpikir, keterlaluan sekali. Saya maklum dan dapat mengendalikan diri
Masalah selanjutnya adalah masalah makanan, anak-anak TPA datang lagi saat nggak ada orang tua di rumah. Kebetulan ada makanan atau kue di meja tamu, mereka minta dan saya bilang ambil, sampia akhirnya satu toples dihabiskan anak-anak, toples yang lain masih utuh. Ketika ibu pulang, saya disindir-sindir tentang habisnya makanan itu.
Memang keterklaluan, hanya soal makanan. Saya habis disindir-sindir dan didiamin selama satu malam, padahal saya sudah ngajak ngomong, tapi beliau dingin aja. Ya sudah saya pikir, kita sama-sama perlu mendinginkan pikiran, mungkin saat itu pikiran kita masing-masing baru gak jernih, jadi marahan. Saya agak ga suka karena keakraban yang saya ciptakan disambut dingin sama ibu saya. Yup ilmu keikhlasan, saya mungkin belum cukup menguasainya.
Akhirnya saya mempunyai keputusan untuk nginap di rumah teman, untuk merenungkan semuanya. karena saya pikir, saya akan banyak dosa ketika saya merepotkan ibu saya dengan ada di sampingnya, mungkin ibu saya baru sebel lihat muka saya.
Malah saya berpikir untuk kost, masih dikota yang sama , hanya untuk menghindari banyaknya kesalahan yang bisa saja saya lakukan.
Saya pindah dan tinggal bersama keluarga adalah untuk menghindari maksiat kepada Allah, tapi saya mendapatkan kenyataan ujian yang memancing saya untuk bermaksiat lagi kepada Allah. Maksiat di sini adalah kelambatan/kejumudan dalam dakwah keluarga (gagal).
Bagaimana pendapat ustadz? Kalau saya memutuskan untuk kost, untuk mengindari dosa, dan apakah saya berdosa ketia memang mau merenungi perjalanan saya selama dua bulan di sini dengan tidak tinggal di rumah?
JazakumuLLAH khoiron,
Semoga Allah SWT menguatkan kaki kita dalam berpijak di jalan menuju tegaknya agama-Nya, Amien.
Saudaraku,
Apa yang Anda alami dengan masalah keliuarga Anda ini, adalah bagian utuh dari episode dakwah semua penyeru kebajikan. Sesuai dengan karakteristiknya, dakwah itu tidak selalu berada di jalan mulus. Terkadang ada aral, onak dan duri melintang di hadapan. Dan tidak jarang banyak di antara aktifisnya yang tergelincir saat melewati cobaan itu.
Bukankah Allah SWT telah berfirman:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan, "Kami telah beriman," sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al-Ankabut: 2)
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS Al-Ankabut: 3)
Salah satu di antara hambatan dakwah itu adalah keluarga. Seorang da’i mungkin saja sukses dalam dakwahnya kepada orang lain, namun tidak ada yang bisa memastikan bahwa dia pasti sukses juga ketika berdakwah kepada keluarganya sendiri. Dan kegagalan mendakwahi keluarga itu bukan cerita Anda seorang, melainkan bagian utuh dari kisah-kisah dakwah para nabi dan rasul.
Bukankah ayah nabi Ibrahim as mengingkari dakwah yang beliau sampaikan? Bukankah anak dan istri nabi Nuh as membangkang dan meninggalkan ajaran beliau? Padahal keduanya termasuk Ulul Azmi, bukan?
Bukankah Nabi Muhammad SAW gagal total dari meng-Islamkan pamandanya sendiri yang paling banyak jasanya dalam perjuangan dakwah, yaitu Abu Thalib?
Bahkan kegagalan para nabi itu dalam mendakwahi keluarganya, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan ‘kegagalan’ dakwah anda di keluarga. Sebab keluarga para nabi itu bukan hanya menentang dakwah, tetapi sudah sampai kepada tindakah kufur, mengingkari kebenaran risalah nabi, mengingkari syariat dan mengingkari adanya hari kiamat. Sedangkan ‘kegagalan’ dakwah anda di keluarga baru sampai taraf disindir gara-gara menghabis kue satu stoples. Sungguh sebuah perbandingan yang teramat jauh.
Bagaimana mungkin anda lantas bersikap over sensitif seperti ini? Anda kan belum dibantai, belum digebuki, belum cincang-cincang seperti perkedel, lalu mengapa tiba-tiba merasa putus asa? Anda belum merasakan dilempari batu sebagaimana dahulu Rasulullah SAW mengalami saat tiba di Thaif. Anda belum dibakar hidup-hidup sebagaimana dahulu nabiyullah Ibrahim as. mengalaminya.
Seorang tokoh da’i besar pernah mengatakan bahwa orang yang lahir di tengah badai, tidak akan ciut nyali hanya dengan hujan gerimis.
Maka saran kami, keluarga anda itu adalah objek dakwah anda. Jangan tinggalkan objek daklwah anda. Sebagaimana seorang nakhoda kapal tidak akan meninggalkan kapalnya yang dilamun ombak. Dia bertanggung-jawab atas apapun yang terjadi di kapalnya, bahkan meski harus menghadapi kenyataan yang paling buruk sekalipun.
Ingatlah ketika Nabi Yunus as merasa gagal dalam berdakwah, lalu meninggalkan kaumnya. Tindakan seperti ini dianggap sebagai hal yang tidak dibenarkan. Sehingga Allah SWT menghukum beliau hingga ditelan ikan besar (huut) selama beberapa waktu. Dan tobat beliau selama di dalam perut ikan adalah :
لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين
Tidak ada tuhan selain Engkau, sungguh Aku termasuk orang-orang yang dzalim.
Nabi Yunus as. adalah seorang utusan Allah SWT, namun ketika meninggalkan lahan dakwahnya, beliau ditegur oleh Allah SWT. Dan beliau mengakui bila telah melakukan kezhaliman.
Bagaimana dengan Anda, bukankah keluarga anda itu lahan dakwah anda. Mengapa anda berpikir untuk pindah kost? Apakah ini bukan sebuah pelarian diri dari kegagalan? Apakah jalan dakwah itu harus selalu licin dan mengkilat? Apakah jalan dakwah itu harus selalu bertabur bunga dan digelar dengan karpet merah?
Urungkan saja niat anda untuk meninggalkan dakwah. Lalu kembalilah kepada keluarga anda. Hiduplah yang nyaman bersama mereka. Toh mereka bukan orang kafir yang harus dimusuhi. Mereka muslim dan orang baik-baik. Mengapa anda harus marah ketika mereka merasa terusik bila merasa terusik privasi mereka? Rumah itu adalah tempat mereka, hak mereka sepenuhnya untuk tinggal dan mendapatkan privasinya.
Kalau anda menyulap rumah keluarga menjadi TPA, sementara penghuninya merasa terusik, siapakah yang zhalim dalam hal ini? Anda perlu sedikit merenungkannya, sebelum segala sesuatunya menjadi semakin tidak terarah.
Mungkin tidak salah kalau anda mengadakan TPA di masjid atau di mushalla di lingkungan wilayah anda. Tapi perlu sekali diingatkan, minta izin dulu baik-baik kepada pengurusnya. Kalau diizinkan lakukan tapi kalau tidak sebaiknya anda tidak perlu memaksakan diri.
Semoga Allah SWT melapangkan dada kita dan memberikan jalan keluar terbaik. Amien
Wallahu a’lam bishshawab Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.