Assalamu’alaikum wr wb.
Saya punya beberapa pertanyaan.
1. Apakah definisi ulama? Kapankah seseorang bisa dikatakan ulama?
2. Misalkan mayoritas ulama berpendapat A dan ada beberapa ulama berpendapat B, bolehkah kita mengikuti pendapat B karena itu lebih mudah bagi kita? Apakah hal tersebut bisa dikategorikan sebagai mengikuti hawa nafsu, karena kita mengambil sesuatu berdasarkan mudahnya saja?
Untuk itu saya meminta penjelasan juga dari Ustadz
Terima kasih atas jawaban Ustadz
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fail dari kata dasar:‘ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu, maksudnya ilmu syariah. Dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu ke dalam di bidang ilmu-ilmu syariah.
Dan secara istilah, kata ulama mengacu kepada orang dengan spesifikasi penguasaan ilmu-ilmu syariah, dengan semua rinciannya, mulai dari hulu hingga hilir.
Keutamaan dan Kedudukan Para Ulama
Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama,
يَرْفَعِ اللهُ الذينَ آمَنُوا والذينَ أُوتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ
Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi.
والعلماء ورثة الأنبياء، إن الأنبياء لم يُورِّثوا دينارًا ولا درهمًا ولكنهم وَرَّثوا العلم
Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih)
Di dalam kitab Ihya’u Ulumud-din karya Al-Imam Al-Ghazali disebutkan bahwa manusia yang paling dekat derajatnya dengan derajat para nabi adalah ahlul-ilmi (ulama) dan ahlul jihad (mujahidin). Karena ulama adalah orang yang menunjukkan manusia kepada ajaran yang dibawa para rasul, sedangkan mujahid adalah orang yang berjuang dengan pedangnya untuk membela apa yang diajarkan oleh para rasul.
Kerancuan Istilah Ulama
Namun istilah ulama di masa kini sering kali menjadi rancu dan tertukar-tukar dengan istilah lain yang nyaris beririsan. Padahal keduanya tetap punya perbedaan mendasar. Misalnya, seorang yang berprofesi sebagai penceramah, seringkali disebut-sebut sebagai ulama, meski tidak punya kapasitas otak para ulama. Kemampuannya di bidang ilmu syariah, jauh dari kriteria seorang ulama.
Penceramah adalah sekedar orang yang pandai berpidato menarik massa, punya daya pikat tersendiri ketika tampil di publik, mungkin sedikit banyak pandai menyitir satu dua ayat Quran dan hadits, tetapi begitu ditanyakan kepadanya, apa derajat hadits itu, ada di kitab apa, siapa saja perawinya, dan seterusnya, belum tentu dia tahu.
Bahkan tidak sedikit penceramah yang buta dengan huruf arab, alias tidak paham membaca kitab berbahasa arab. Padahal sumber-sumber keIslaman hanya terdapat dalam bahasa arab.
Namun penceramah tetap dibutuhkan oleh masyarakat awam, yang betul-betul kurang memiliki wawasan dan pemahaman atas agama Islam. Jadi meski seorang penceramah hanya punya ilmu agama pas-pasan, tetapi tidak ada rotan, akar pun jadilah.
Bahkan terkadang terjadi fenomena sebaliknya, banyak orang yang sudah sampai kepada level ulama, punya ilmu banyak dan mendalam, tetapi kurang fasih ketika berbicara di muka publik. Bahkan boleh jadi figurnya malah kurang dikenal. Sebab beliau tidak mampu berpidato di TV untuk menjaring iklan. Padahal dari sisi ilmu dan kedalamanannya atas kitabullah dan sunnah rasul-Nya, tidak ada yang mengalahkan.
Ulama Satu Bidang Ilmu
Di zaman sekarang ini, nyaris kita tidak lagi mendapatkan ulama dengan penguasaan di berbagai disiplin ilmu syariah. Kita hanya menemukan para ulama yang pernah belajar beberapa bidang ilmu, namun hanya menguasai satu atau dua cabang ilmu.
Misalnya, kita mengenal ada Syeikh Nashiruddin Al-Albani yang tersohor di bidang kritik hadits. Buku yang beliau tulis cukup banyak, namun kita tahu bahwa beliau bukan seorang yang ekpert di bidang lain, misalnya ilmu ushul fiqih, juga bukan jagoan ahli dibidang ilmu istimbath ahkam fiqih secara mendalam.
Kalau mau tahu apakah sebuah hadits itu shahih atau tidak, silahkan tanya beliau. Tetapi kalau tanya kaidah ushul fiqih, tanyakan kepada ulama lain yang ahli di bidangnya. Namun demikian, kita tetap harus hormat dan takzim kepada beliau atas ilmunya.
Ilmu-Ilmu Yang Harus Dikuasai Oleh Ulama
Idealnya, ilmu syariah dan cabang-cabangnya itu harus secara mendalam dikuasai, terlebih olehpara ulama. Sekedar gambaran singkat, di antaranya ilmu-ilmu syariah dan keIslaman yang harus dikuasai seorang ulama antara lain:
1. Ilmu Yang Terkait Dengan Al-Quran
- Ilmu tajwid yang membaguskan bacaan lafadz AL-Quran
- Ilmu qiraat (bacaan) Al-Quran, sepertiqiraah-sab’ah yang bervariasi dan perpengaruh kepada makna dan hukum.
- Ilmu tafsir, yang mempelajari tentang riwayat dari nabi SAW tentang makna tiap ayat, juga dari para shahabat dan para tabi’in dan atbaut-tabi’in.
- Ilmu tentang asbababun-nuzul, yaitu sebab dan latar belakang turunnya suatu ayat.
- Ilmu tentang hakikat dan majaz yang ada pada tiap ayat Quran
- Ilmu tentang makna umum dan khusus yang dikandung tiap ayat Quran
- Ilmu tentang muhkam dan mutasyabihat dalam tiap ayat Quran
- Ilmu tentang nasikh dan mansukh dalam tiap ayat Quran
- Ilmu tentang mutlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum
- Ilmu tentang i’jazul quran, aqsam, jadal, qashash dan seterusnya
2. Ilmu Yang Terkait dengan Hadits Nabawi
- Ilmu tentang sanad dan jalur periwayatan serta kritiknya
- Ilmu tentang rijalul hadits dan para perawi
- Ilmu tentang Al-Jarhu wa At-Ta’dil
- Ilmu tentang teknis mentakhrij hadits
- Ilmu tentang hukum-hukum yang terkandung dalam suatu hadits
- Ilmu tentang mushthalah (istilah-istilah) yang digunakan dalam ilmu hadits
- Ilmu tentang sejarah penulisan hadits yang pemeliharaan dari pemalsuan
3. Ilmu Yang Terkait dengan Masalah Fiqih dan Ushul Fiqih
- Ilmu tentang sejarah terbentuknya fiqih Islam
- Ilmu tentang perkembangan fiqh dan madzhab
- Ilmu tentang teknis pengambilan kesimpulan hukum (istimbath)
- Ilmu ushul fiqih (dasar-dasar dan kaidah asasi dalam fiqih)
- Ilmu qawaid fiqhiyah
- Ilmu qawaid ushuliyah
- Ilmu manthiq (logika)
- Ilmu tentang iIstilah-istilah fiqih istilah fiqih madzhab
- Ilmu tentang hukum-hukum thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, nikah, muamalat, hudud, jinayat, qishash, qadha’, qasamah, penyelenggaraan negara dan seterusnya.
4. Ilmu Yang Terkait dengan Bahasa Arab
- Ilmu Nahwu (gramatika bahasa arab)
- Ilmu Sharaf (perubahan kata dasar)
- Ilmu Bayan
- Ilmu tentang Uslub
- Ilmu Balaghah
- Ilmu Syi’ir dan Nushus Arabiyah
- Ilmu ‘Arudh
5. Ilmu Yang Terkait dengan Sejarah
- Tentang sirah (sejarah nabi Muhammad SAW)
- Tentang sejarah para nabi dan umat terdahulu dan bentuk-bentuk syariat mereka
- Sejarah tentang Khilafah Rasyidah
- Sejarah tentang Khilafah Bani Umayyah, Bani Abasiyah, Bani Utsmaniyah dan sejarah Islam kontemporer.
6. Ilmu Kontemporer
- Ilmu politik dan perkembangan dunia
- Ilmu ekonomi dan perbankan
- Ilmu sosial dan cabang-cabangnya.
- Ilmu psikologi dan cabang-cabangnya
- lmu hukum positif dan ketata-negaraan
- Ilmu-ilmu populer
Di masa lampau, orang yang disebut dengan ulama adalah orang-orang yang menguasai dengan ahli cabang-cabang ilmu di atas tadi. Namun di zaman sekarang ini, nyaris kita tidak lagi menemukannya.
Maka di zaman sekarang ini, para ulama dari beragam latar belakang keilmuwan yang berbeda perlu duduk dalam satu majelis. Agar mereka bisa melahirkan ijtihad jama’i (bersama), mengingat ilmu mereka saat ini sangat terbatas. Sementara ilmu pengetahuan berkembang terus.
Perbedaan Pendapat di Kalangan UIlama
Masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama, barangkali yang anda maksud adalah pendapat fiqih dan fatwa-fatwa.
Sebelum kita memilih pendapat mereka yang menurut anda berbeda-beda, anda harus tahu terlebih dahulu latar belakang keilmuan mereka.
Untuk jawaban masalah hukum fiqih, maka janganlah bertanya kepada ulama hadits, atau ulama tafsir, atau ulama bahasa, atau ulama sejarah. Anda salah alamat. Kalau pun mereka jawab, jawaban mereka tetap kalah dibandingkan dengan jawaban ahlinya.
Misalnya, di Mesir saat ini ada ulama yang berfatwa tentang hukum wanita menjadi kepala negara. Sayangnya, beliau bukan ahli fiqih, tetapi doktor di bidang ilmu pendididikan. Tentu saja fatwanya aneh bin ajaib. Para ulama fiqih tentu terpingkal-pingkal kalau mendengar isi fatwanya.
Masalah fiqih tanyakan kepada ulama yang ahli di bidang ilmu fiqih. Sebab ilmu yang mereka miliki memang lebih menjurus kepada ilmu hukum fiqih.
Faktor Perbedaan Kasus dan Fenomena Sosial
Kalau para ahli fiqih berbeda pendapat, maka anda harus melihat pada konteks ketika mereka menjawab masalah itu. Apakah fatwa yang mereka keluarkan sesuai kondisi sosialnya dengan kondisi sosial di mana anda berada.
Misalnya ketika Syeikh bin Bazz mengeluarkan fatwa haramnya ziarah kubur, maka anda harus tahu bahwa fenomena ziarah kubur di negeri tempat tinggalnya memang sulit untuk dibilang tidak syirik. Sebab orang-orang di sana memang nyata-nyata menyembah kuburan, baik dengan jalan mencium, mengusap, meratap dan meminta rezeki kepada kuburan. Wajar sekali bila Syeikh bin Baz mengharamkan ziarah kubur.
Tetapi fatwa haramnya ziarah kubur versi beliau tidak bisa digeneralisir di semua tempat, yang fenomenanya berbeda.
Kalau di negeri kita ada orang yang ziarah kubur, namun tanpa menyembah dan melakukan hal-hal yang dinilai syirik, maka kita tidak bisa mengharamkannya. Karena ziarah kubur itu sunnah nabi, namun harus dengan cara yang dibenarkan.
Terkadang kesalahan bukan datang dari para ulama, tetapi dari orang awam yang salah kutip dan salah penempatan sebuah fatwa.
Faktor Perbedaan Nash dan Dalil
Terkadang perbedaan pendapat itu dilatar-belakangi oleh perbedaan nash dan dalil. Bila perbadaan pendapat itu memang berangkat dari perbedaan nash, yang oleh para ulama memang sejak dulu sudah menjadi titik perbedaan pendapat, maka kita dibolehkan untuk memilih yang mana saja dari pendapat yang berbeda itu.
Misalnya, ada dua hadits yang sama-sama shahih namun berbeda isi hukumnya. Hadits pertama mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW sujud dengan meletakkan lutut terlebih dahulu baru kedua tanggannya. Hadits kedua mengatakan sebaliknya, beliau meletakkan tangan terlebih dahulu baru kedua lututnya. Maka yang mana saja dari hadits ini yang kita pakai, keduanya boleh digunakan. Toh keduanya sama-sama didasari oleh hadits shahih.
Faktor Perbedaan Dalam Menilai Keshaihan Hadits
Ada juga perbedaan pendapat karena perbedaan dalam menilai keshahihan suatu riwayat hadits. Sebab keshahihan suatu hadits memang sangat mungkin menjadi perbedaan pendapat. Seorang Bukhari mungkin saja tidak memasukkan sebuah hadits ke dalam kitab shahihnya, karena mungkin menurut beliau hadits itu kurang shahih. Namun sangat boleh jadi, hadits yang sama justru terdapat di dalam shahih Muslim.
Maka perbedaan dalam menilai keshahihan suatu hadits adalah hal yang pasti terjadi dan lumrah serta wajar.
Seperti dalam kasus hadits bahwa nabi Muhammad SAW diriwayatkan selalu melakukan qunut shalat shubuh hingga akhir hayatnya. Sebagian ulama menerima keshaihannya dan sebagian lainnya menolaknya.
Maka dalam hal ini, kita pun boleh menerima yang mana saja dari kedua pendapat itu, karena masing-masing jelas punya argumentasi yang kuat atas pendapat keshahihan riwayat itu.
Pendeknya, ketika sebuah pendapat dari seorang ulama memang betul-betul telah mengalami proses ijtihad dengan benar, meski pun sering kali tidak sama, maka pendapat yang mana pun boleh kita pakai.
Bahkan meski tidak konsekuen dalam menggunakan pendapat seorang ulama. Kita dibolehkan untuk mengambil sebagian pendapat dari seorang ulama dan dibolehkan juga untuk meninggalkan sebagian pendapatyang lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc