Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Ustadz, saya hanya ingin penjelasan lebih detil tentang ulasan ustadz mengenai keberadaan ulama, kyai, ustad dan penceramah di edisi yang lalu.
Sebelumnya ustadz mengatakan alangkah baiknya kalau di setiap masjid dapat menyekolahkan seseorang untuk belajar di Suadi, Yordan, Mesir dan sebagiainya, sehingga setelah 4 tahun belajar bisa dijadikan aset masjid tersebut untuk menjadi tempat rujukan mengenai agama Islam dan mereka stand by di sana tanpa kerja karena sudah dibiayai sekolahnya.
Pertannyaan saya ustadz:
1. Kalau memang demikian adanya apakah masjid-masjid besar di negara kita ada yang menyekolahkan seseorang untuk belajar agama di sana? Yang saya tahu mereka kebanyakan disekolahkan oleh atau memang dapat beasiswa dari negara lain itu untuk belajar di sana. Atau mereka lulusan dari ponpes atau sekolah di LIPIA.
2. Apakah mungkin sesorang di zaman sekarang bisa hanya mengandalkan uang dari yang didapat dengan hanya berada di masjid ustadz, padahal mereka juga butuh kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. Mungkin ini tepatnya di kota-kota besar dan beda dengan di kampung-kampung.
3. Seperti sekarang ada seorang lulusan dari Madinah yangs ekarang ini membimbing saya untuk calhaj tahun ini, memberikan kesempatan pada para pemuda untuk dapat dijadikan pendakwah di mana-mana dengan belajarnya di kampus tersebut. Dengan program ini saja sulit untuk terus berkembang kalau para pemimpin atau orang-orang yang memang diberikan oleh Allah kelebihan harta untuk membantu perkembangan sekolah itu. Apakah usaha dari lulusan Madinah itu perlu terus dibantu untuk lebih meningkat dibandingkan harus ataukah mengirimkan orang untuk belajar di tempat yang jauh dan perlu biaya yang banyak.
Demikian ustadz atas jawabannya, saya ucapkan terima kasih.
Wassalam,
Asalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
1. Sayang sekali nyaris kami belum pernah menemukan adanya masjid yang punya program brilyan seperti yang kami sebutkan, yaitu mengkader para calon ulama dengan menyekolahkan dari jamaah masjid itu para pemuda/mahasiswa yang potensial ke pusat keilmuwan Islam di dunia.
Kebanyakan masjid di negeri kita hanya berpikir jangka pendek, misalnya bagaimana menyelenggarakan perayaan maulid nabi, isra’ mi’raj, nuzulul quran, nisfu sya’ban atau khutbah jumat tiap pekan. Tidak pernah berpikir bagaimana melahirkan para ulama.
Dan untuk semua keperluan itu, para takmir masjid biasanya mendatangkan para penceramah dari mana-mana. Seringkali tanpa kualifikasi yang tegas tentang kafa’ah ilmiyah mereka. Asalkan seorang penceramah sudah sering tampil dan cukup ngetop, biasanya selalu jadi incaran para takmir masjid. Urusan materi ceramah dan kurikulum materi, biasanya terserah para penceramah.
Sayangnya, bahkan masjid-masjid yang dari sisi keuangannya sangat sehat dan makmur, ternyata programnya tidak berbeda. Lagi-lagi hanya sekedar merangkai parade ceramah. Belum terpikir untuk jangka panjang, yaitu membiayai para calon ulama berkuliah di Al-Azhar, Madinah atau lainnya. Keuntungannya akan didapat dalam 4 tahun kemudian, yaitu saat mereka lulus S-1 dengan kualifikasi international, mereka akan jadi para imam masjid yang handal dan mumpuni. Paling tidak untuk ukuran Indonesia.
Kemampuan minimal mereka adalah bisa bahasa Arab baik lisan maupun tulisan dengan baik, mampu menelaah kitab-kitab syariah, punya bacaan quran yang baik, mengerti detail syariah yang bersifat umum.
Tentunya tidak semua masjid melakukan pengkaderan seperti di atas. Namun beberapa masjid di perkotaan yang managemen keuangannya sudah baik, tidak ada salahnya mencoba menerapkannya.
2. Pertanyaan ini terkait dengan managmen masjid dan pengelolaan sumber-sumber dananya. Beberapa masjid di perkotaan sebenarnya sangat mampu untuk menghidupi seorang imam masjid dengan standar gaji yang layak.
Dan ini bisa kita hitung-hitung secara kasar, misalnya dari pendapatan kotak amal tiap jumat yang biasanya dibacakan menjelang khutbah, kita bisa memperhitungkan kemampuan finansial suatumasjid. Beberapa masjid di Jakarta bisa mendapatkan belasan juta rupiah tiap minggu, terutama yang berada di wilayah perkantoran dan sejenisnya.
Dengan pemasukan belasan juta rupiah seminggu, menggaji imam masjid yang qualified tidak jadi masalah tentunya.
3. Pertimbangan menyekolahkan calon ulama di luar negeri bukan sekedar gengsi-gengsian. Tetapi secara realistis memang sangat dibutuhkan untuk mendapat standar yang baik.
Pertimbangannya, mereka yang bisa disekolahkan ke luar negeri (baca: timur tengah) tidak sembarangan. Hanya mereka yang lolos ujian saringan super ketat saja yang bisa berangkat. Ini akan membantu menyeleksi calon ulama untukmendapatkan bibit yang terbaik.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa kualitas pengajar di berbagai Universitas Islam di Timur Tengah itu secara umum memang baik. Mereka adalah pakar di bidangnya yang berbicara tentang ilmu-ilmu yang mendasar. Para mahasiswa itu akan bertemu langsung dengan pakar ahli tafsir sungguhan, pakar ahli hadits sungguhan, pakar ahli fiqih sungguhan dan semua yang ulama dunia yang ekspert di bidangnya. Masih ditambah dengan perpustakaan yang lengkap, suasana belajar yang kondusif dan beasiswa yang baik.
Berbeda dengan kampus atau ma’had di tanah air, di mana umumnya pengajarnya kurang qualified, bahkan banyak di antara mereka yang hanya lulusan S-1 saja. Plus kemampuan bahasa yang seadanya. Tanpa perpustakaan, tanpa daya saing dan juga tanpa beasiswa.
Apa yang sedang diusahakan oleh pembimbing haji anda itu hanya anak tangga pertama menuju anak tangga berikutnya. Lulusan-lulusan dari programnya adalah calon-calon mahasiswa yang harus diseleksi lagi lagi untuk bisa masuk ke berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. Tetap harus dibantu dan dikembangkan oleh semua pihak. Tetapi belum menjadi standar minimal kebutuhan.
Wallahu a’lam bishshawab, wasalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.