Assalaamualaikum wr wb,
P. Ustadz, saya ingin menanyakan apakah keempat imam madhzab itu kedudukannya setingkat wali atau apa? Apakah mereka juga memiliki karomah? Mengapa ijtihad mereka dijadikan pegangan bahkan oleh waliyullah sekalipun (seperti halnya walisongo). Mohon penjelasannya, sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalam
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Keempat imam mazhab itu bukan tokoh dongeng dunia hayal. Mereka tidak punya ilmu sakti mandragunanan digjaya, juga tidakpunya ilmu ghaib dan kesaktian semacam tokoh dunia pewayangan. Mereka tidak bisa menghilang, atau menunjuk batu menjadi emas, atau melakukan tapa di pinggir sungai.
Sebaliknya, mereka adalah sosok para intelektual, ilmuwan dan insan cerdas secara nalar dan logika. Mereka tidak dikenal kecuali lewat ilmu-ilmu logika yang teramat eksak.
Para imam mazhab adalah tokoh besar dan penemu disiplin ilmu, seperti halnya seorang Pithagoras untuk ilmu trigonometri, atau Isaac Newton dalam ilmu fisika, atau Einstain dalam ilmu nuklir.
Jadi tidak ada hubungannya dengan urusan karomah, keajaiban, atau hal-hal yang tidak masuk akal lainnya. Urusan yang ghaib seperti itu hanyalah dongeng para penghayal yang jauh dari ilmu eksak. Biasa dijadikan hikayat yang tidak jelas ujung pangkalnya oleh para tokoh tasawuf yang menyimpang.
Tokoh Ilmu Hukum dan Logika
Ilmu yang dikembangkan oleh para imam mazhab justru ilmu logika nalar yang sehat dan positif. Tujuannya untuk mendapatkankesimpulan hukum dari sumber-sumbernya yang utama, seperti Al-Quran dan Sunnah Rasululah SAW.
Mengingat bahwa kedua sumber utama ajaran Islam itu tidak diturunkan dalam bentuk bahasa hukum, tetapi berupa prosa, kisah, laporan pandangan mata atau kutipan statemen.
Sehingga masih dibutuhkan sebuah kerja keras untuk membuat kesimpulannya dengan cara membahas keduanya dengan teliti, cermat, logis dan kritis. Hasilny adalah sebuah karya berisi kesimpulan-kesimpulan hukum baik urusan ibadah maupun muamalah.
Dan produk yang langsung kita rasakan adalah apa yang terkandung di dalam ilmu fiqih. Sehingga setiap ibadah yang Allah perintahkan itu bisa dipahami teknisnya dengan sedetail-detailnya, lengkap dengan kandungan hukumnya, bahkan bisa dibuatkan kerangka syarat, rukun, sunnah dan ketentuannya secara rinci.
Kerja-kerja itu adalah ijtihad yang kalau pun hasilnya salah, tetap sajasudah dijamin dengan 1 pahala. Dan seandainya benar, maka pahalanya ada dua.
Mengapa kalau salah tetap dapat pahala?
Sebab yang melakukannya adalah orang ahli di bidangnya. Ibarat dokter ahli, meski sudah melakukan semua kerja dengan memenuhi prosedur dan etika kedokteran, tetap saja tidak bisa melawan ketentuan Allah SWT. Entah karena keterbatasandunia kedokteran atau pun karena hal-hal lainnya.
Selama semua prosedur telah dijalankan dengan baik, namun seandainya tetap masih ada terjadi hambatan dan kesalahan juga, maka kesalahan itu tidak bisa begitu saja dibebankan kepada pelakunya. Karena akan ada banyak faktor yang ikut bepengaruh.
Maka seandainya hasil ijtihad seorang mujtahid tidak tepat, dia tetap tidak bisa dipersalahkan, dan tetap mendapat ‘honor’ berupapahala. Tapi kalau hasilnya benar, maka dia akan dapat ‘bonus’ tambahan pahala.
Bandingkan dengan dongeng tentang wali-wali nan digjaya, di mana cerita-ceria burung tentang kesaktian tokoh-tokoh ajaib menjadi penghias kedustaan. Maka sosok para mujtahid itu 180 derajat berbeda.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc