Ass. wr. wb.
Saya baru saja membaca berita di salah satu media di Internet, yang menuliskan tentang pernyataan seorang pejabat negara, beliau mengatakan bahwa sunnat perempuan merupakan kebudayaan Mesir. Itupun tidak semua orang Mesir melakukannya karena mengganggu fungsi seksualitas. Beliau mengatakan itu sebagai bentuk mutilasi lokal dan bukan berasal dari ajaran Islam seperti sunatnya laki-laki. Saya ingin menanyakan sebenarnya adakah sunat bagi perempuan dalam ajaran Islam dan bagaimana hukumnya?
Terima kasih atas jawabannya.
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Khitan buat perempuan dalam syariat Islam memang tidak seperti khitan buat anak laki-laki. Khitan untuk anak laki-laki terkait dengan masalah kesucian dari najis. Sedangkan untuk anak perempuan tidak ada kaitannya. Sehingga pelaksanaannya diserahkan kepada adat dan kebiasaan yang berlaku di suatu negeri.
Dan kalau kita mau telusuri lebih jauh, memang para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan untuk wanita:
1. Pendapat Pertama
Khitan Hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi (lihat Hasyiah Ibnu Abidin: 5-479;al-Ikhtiyar 4-167), mazhab Maliki (lihat As-syarhu As-shaghir 2-151)dan Syafi`i dalam riwayat yang syaz (lihat Al-Majmu` 1-300).
Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib, namun merupakan fithrah dan syiar Islam. Bila seandainya seluruh penduduk negeri sepakat untuk tidak melakukan khitan, maka negara berhak untuk memerangi mereka sebagaimana hukumnya bila seluruh penduduk negeri tidak melaksanakan azan dalam shalat.
Khusus masalah mengkhitan anak wanita, mereka memandang bahwa hukumnya mandub (sunnah), yaitu menurut mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah SAW,
`Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.` (HR Ahmad dan Baihaqi).
Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah bukan wajib karena disebutkan dalam hadits bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.
2. Pendapat Kedua
Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh mazhab Syafi`i (lihat almajmu` 1-284/285; almuntaqa 7-232), mazhab Hanbali (lihat Kasysyaf Al-Qanna` 1-80 dan al-Inshaaf 1-123).
Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun bagi wanita. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al-Quran dan sunnah:
`Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus` (QS. An-Nahl: 123).
Dan hadits dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
`Nabi Ibrahim as berkhitan saat berusia 80 dengan kapak` (HR Bukhari dan muslim).
Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim as. karena merupakan bagian dari syariat kita juga`.
Dan juga hadits yang berbunyi,
`Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah` (HR As-Syafi`i dalam kitab Al-Umm yang aslinya dri hadits Aisyah riwayat Muslim).
3. Pendapat Ketiga
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita. Pendapat ini dipengang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita tapi tidak wajib. (lihat Al-Mughni 1-85)
Di antara dalil tentang khitan bagi wanita adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak wanita. Rasulullah SAW bersabda,:
`Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.
Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan kepada budaya tiap negeri, apakah mereka memang melakukan khitan pada wanita atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa melakukannya, maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan wanita itu dilakukan saat mereka masih kecil.
Sedangkan khitan untuk wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk melakukanya. Berbeda dengan laki-laki yang menjalankan khitan karena ada alasan masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis. Sehingga sudah dewasa, khitan menjadi penting dilakukan.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.