Assalamualaikum wr. wb.
Ustadz yang dimuliakan ALLAH, saya mau bertanya, bagaimanakah hukumnya makananan yang tidak ada label halalnya? Soalnya teman saya pernah bilang kalau mau beli makanan musti lihat label halalnya. Yang saya tahu makanan haram itu seperti babi, darah, dan bangkai. Apa makanan yang tidak ada label halalnya dari MUI juga tidak boleh dimakan?
Wassalamualaikum,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Niat baik institusi yang mengeluarkan label halal patut diacungi jempol. Sebab tujuannya pasti untuk melindungi umat Islam dari mengkonsumsi produk yang diharamkan. Lantaran masalah kehalalan produk sekarang ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Dengan adanya pelabelan produk halal, masyarakat jadi sangat terbantu untuk lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi produk yang pasti kehalalannya. Tidak ada lagi keraguan di dalamnya, lantaran sudah ada lembaga yang menjamin kehalalannya.
Ini merupakan kemajuan pesat dan prestasi tersendiri dari kalangan umat Islam, lantaran ada kesadaran meluas untuk mengkonsumsi produk halal.
Kaidah Hukum
Namun kalau kita bicara tentang hukum dan aturan mainnya secara logika fiqih, memang agak sedikit berbeda pendekatannya.
Pertama, bahwa dalam tata hukum Islam kita memiliki aturan bahwa dasar dari segala sesuatu adalah halal. Kalau kita meminjam logika label halal, akan tertanam di benak masyarakat bahwa yang halal hanya yang ada label halalnya saja, sedangkan yang tidak ada label halalnya hukumnya menjadi haram.
Ini yang perlu dicermati dengan teliti. Sebab tidak berarti segala produk makanan yang tidak ada label halalnya lantas hukumnya pasti haram. Hanya saja belum ada penelitian tentang kepastian halalnya. Kita tidak bisa mengubah suatu hukum hanya dengan asumsi, tetapi harus dengan penelitian yang pasti.
Kaidah fiqhiyah yang bisa kita terapkan adalah bahwa pada dasarnya segala jenis makanan itu halal. Al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibahah (hukum dasar segala sesuatu adalah halal).
Maka semua makanan itu pada dasarnya halal. Hukumnya baru berubah menjadi haram setelah ada sebuah penyelidikan yang memastikan bahwa makanan itu mengandung unsur haram. Tidak bisa hanya dengan menggunaan asumsi. Sekedar menghindari dari mengkonsumsi produk yang belum berlabel halal, tentu baik. Tapi kalau sampai memvonis haram, tentu juga tidak bisa dibenarkan.
Masalah ini berbanding terbalik dengan masalah faraj wanita, di mana hukum dasarnya adalah haram, sebagaimana kaidah fiqih:
Al-ashlu fil abdhaa’i at-tahrim (hukum dasar dari kemaluan wanita adalah haram)
Pengertiannya adalah bahwa seluruh kemaluan wanita itu haram untuk disetubuhi, kecuali yang telah ditetapkan kehalalannya. Misalnya dengan jalan pernikahan.
Kemudian, hukum dasar yang sudah ada itu tidak bisa begitu saja berubah menjadi haram, hanya berdasarkan asumsi.Kaidah fiqihnya demikian: Al-Yaqiinu la yazuulu bisy-syakki. Sesuatu hukum yang didasari pada sesuatu yang meyakinkan tidak bisa diubah hukumnya hanya berdasarkan keraguan.
Tapi lepas dari masalah cara menyimpulkan hukum, tidak ada salahnya buat kita untuk menghindarkan diri dari mengkonsumsi produk yang belum berlabel halal. Paling tidak, sebagai sikap wara’ (hati-hati) atas sesuatu yang belum pernah dilakukan penyelidikan atasnya.
Asalkan jangan sampai kita mengeluarkan vonis haram kepada suatu produk yang tidak berlabel halal. Kecuali setelah dipastikan lewat penelitian bahwa produk itu mengandung unsur yang haram.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.