Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya heran ustadz, banyak tempat buat lahan amal ghibah sekarang ini. Semua orang suka membicarakan (aib?) orang lain dan sepertinya menikmatinya dan bahkan menghasilkan rezeki plus dosa bagi sebagian orang.
Mungkin mereka takut kalau mereka membicarakan diri sendiri, mereka akan terperangkap ke dalam mengamalkan perbuatan yang mengarah kepada penyakit-penyakit hati (pamer kebaikan diri, riya’, sum’ah, ujub, takabur, dan lain sebagainya).
Pertanyaan saya, ghibah yang Islamy, yang syar’i, yang diizinkan menurut kacamata syariah, yang diridhoi Alloh SWT, dan bahkan yang semakin mendekatkan diri kita kepada Sang Khalik itu yang bagaimana ya? Afwan kalau pertanyaan ini menggelitik sanubari kita.
Jazakalloh khoiron katsiiro, yaa Ustadz.
Wass. Wr. Wb.
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada ghibah yang Islami. Sebagaimana tidak ada zina yang Islami, mabuk yang Islami, mencuri yang Islami atau durhaka yang Islami.
Membicarakan aib saudara, teman atau rekan memang sebuah dosa. Apalagi bila tujuannya untuk sekedar menjelekkan atau menyebarkan ke publik. Sehingga semakin banyak orang yang tahu kelemahan dan keburukan.
Kalau pun ada tujuan mulia dari membicarakan keburukan saudara kita, maka wilayahnya sangat sempit dan terbatas. Tidak semua orang punya hak untuk melakukannya. Dan tidak semua orang boleh diperlakukan seperti itu. Juga tidak setiap saat dibenarkan melakukannya.
Kalau sudah demikian, maka judul besar bukan lagi ghibah, tetapi sesuatu dengan nama yang lain. Misalnya, istilah muhasabah atau evaluasi. Yang sejenisnya adalah kriitk membangun yang disertai saran yang kongkrit dan logis. Yang dekat dengan itu adalah mengingatkan atau menegur kesalahan.
Namun semua itu ada adab-adabnya. Tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Contoh sederhana, bila saudara kita salah dalam membaca Al-Quran, cukup satu orang saja yang mengoreksinya secara komunikatif, konstruktif dan jelas. Tidak perlu 10 orang secara koor berteriak-teriak,”Hey bacaanmu salah, dasar goblok.”
Demikian juga ketika kita mengevaluasi teman kita yang melakukan kesalahan, jangan lakukan di depan umum yang hanya akan menghina dan merendahkan harga dirinya. Tidak perlu semua orang memborbardir dengan penilaian, cukup satu orang saja yang benar-benar berwenang dan bijak. Yang tidak berkepentingan tidak perlu tahu dan tidak perlu ikut-ikutan sok menjadi hakim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Hujurat: 12)
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.