Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz, langsung saja. Apa hukumnya memakan daging biawak? Syukron, Ustadz.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dalam menjawab pertanyaan ini, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, masalah biawak yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai terjemahan dari kata dhabb. Kedua, hukum dhabb sendiri yang ternyata menjadi bahan perbedaan pendapat para ulama, karena terdapatnya beberapa hadits yang berbeda hukumnya tentang hewan itu.
1. Masalah Pertama: Apakah Biawak terjemahan kata Dhabb?
Banyak orang di masa lalu menerjemahkan kata dhab (ضب) dengan biawak. Sementara para peneliti kemudian mengkritisi lebih lanjut dan menemukan bahwa ternyata hewan yang dimaksud itu bukan biawak.
Memang gambarnya mirip dengan biawak, namun setelah diteliti lebih lanjut, terbukti memang bukan biawak. Sehingga pada penerjemahan berikutnya, lebih sering ditulis dengan: hewan mirip biawak. Walhasil, karena memang bukan biawak, maka hukumnya tidak terkait dengan masalah dhabb sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits nabawi.
Maksudnya, biawak adalah nama jenis binatang tertentu, sedangkan dhabb adalah nama jenis binatang yang lain. Keduanya tidak ada kaitannya, kecuali ada kemiripan bentuk.
2. Masalah Kedua: Perbedaan Ijtihad Ulama tentang Hukum Dhabb.
Ada beberapa hadits yang saling berbeda terkait dengan hukum memakan daging dhabb. Sebagian dari matan hadits itu menunjukkan kebolehan memakan dhabb, namun sebagian lainnya menunjukan ketidak-halalannya.
a. Hadits-hadits yang Melarang Makan Dhabb
أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم نهى عن الضب
Bahwa Rasulullah SAW melarang (makan) dhabb. (HR Abu Daud)
عبد الرحمن بن حسنة "أنهم طبخوا ضباباً فقال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: إن أمة من بني إسرائيل مسخت في دواب الأرض فأخشى أن تكون هذه. فألقوها" وأخرجه أحمد وصححه ابن حبان والطحاوي وسنده على شرط الشيخين.
Dari Abduurahman bin Hasnah bahwa para shahabat memasak dhabb, lalu nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya satu umat dari bani Israil diubah menjadi hewan melata di tanah, aku khawatir mereka itu adalah hewan ini, jadi buanglah." (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Ath-Thahawi)
Ibnu Hibban dan Ath-Thahawi menshahihkan hadits ini dengan sanad sesuai syarat dari Bukhari.
b. Hadits yang Menghalalkan Dhabb
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَكُلَّ اَلضَّبِّ عَلَى مَائِدَةِ رَسُولُ اَللَّهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku makan dhabb pada hidangan Rasulullah SAW." (HR Bukhari Muslim)
عن ابن عمر "أنه صلى الله عليه وآله وسلم سئل عن الضب فقال, "لا آكله ولا أحرمه، وسئل عن الجراد فقال مثل ذلك"، فإنه قال النسائي: ثابت ليس بثقة
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum dhabb, maka beliau menjawab, "Aku tidak memakannya namum tidak mengharamkannya." Beliau juga ditanya tentang hukum makan belalang, maka beliau menjawab, "Hukumnya sama." (HR An-Nasa’i)
"كلوه فإنه حلال ولكنه ليس طعامي
Rasulullah SAW bersabda, "Makanlah hewan itu karena hukumnya halal. Namun hewan itu bukan makananku." (HR Muslim)
Ijtihad Para Ulama
Dengan adanya perbedaan sekian hadits tentang dhabb di atas, maka para ulama pun berbeda pendapat tentang hukum memakannya. Sebagian dari mereka mengharamkannya dan sebagian lainnya menghalalkannya.
a. Mereka yang Mengharamkan
Pengharaman mereka berangkat dari adanya hadits-hadits di atas yang esensinya mengharamkan seorang muslim memakan daging dhabb. Bahkan Rasulullah SAW sampai memerintahkan untuk membuangnya, karena beliau khawatir hewan itu adalah penjelmaan dari umat terdahulu yang dikutuk jadi hewan.
Perintah untuk membuangnya berarti makanan itu haram. Karena kalau halalatau sekedar makruh, tidak mungkin beliau perintahkan untuk membuangnya. Sebab membuang makanan, meski tidak doyan, hukumnya haram.
b. Mereka yang Menghalalkan
Mereka yang menghalalkan makan daging dhabb tentu saja berhujjah dengan hadits-hadits yang membolehkan. Yaitu Rasululah SAW membolehkan makan dagingnya, meski beliau sendiri tidak memakannya.
Sedangkan terhadap hadits-hadits yang membolehkannya, mereka mengatakan bahwa kedudukan hadits-hadits itu lemah dan bermasalah, sebagaimana hasil peniliaian para ulama berikut ini:
Ibnu Hazam mengatakan bahwa hadits riwayat Abu Daud tentang Rasulullah SAW melarang (makan) dhabb itu adalah hadits yang bermasalah pada isnadnya. Beliau mengatakannya perawinya dhaif (lemah) dan majhul (tidak diketahui).
Demikian juga dengan Al-Baihaqi, beliaumengatakan bahwa dalam isnad hadits ini ada perawi yang bernama Ismail bin Ayyash. Menurut beliau perawi ini termasuk kategori: laisa bihujjah (tidak bisa dijadikan dasar argumen).
Mereka juga mengatakan bahwa hadits yang melarang makan dhabb karena Rasulullah SAW khawatir hewan itupenjelmaan manusia yang dikutuk, tidak bisa diterima. Sebab bertentangan dengan hadits lainnya yang menyebutkan bahwa Allah SWT tidak mengutuk orang jadi hewan lalu hewan itu bisa beranak pinak dan berketurunan. Kemungkinan saat itu Rasulullah SAW belum menerima wahyu lebih lanjut bahwa umat terdahulu yang dikutuk menjadi hewan tidak akan punya keturunan, bahkan setelah jadi hewan, tidak lama kemudian mereka mati.
ابن مسعود قال, "سئل رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم عن القردة والخنازير أهي مما مسخ؟ قال: إن الله لم يهلك قوماً أو يمسخ قوماً فيجعل لهم نسلاً ولا عاقبة
Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang kera dan babi, apakah hewan itu penjelmaan (orang yang dikutuk di masa lalu)? Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah SWT tidak menghancurkan suatu kaum atau mengutuknya jadi hewan sehingga mereka punya keturunan."
Asal hadits ini dari riwayat Imam Muslim, sebagaimana ditulis oleh Ash-shan’ani di dalam kitab beliau, Bulughul Maram.
Wallahu a’lam bishshabwab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.