Ass. wr. wb.
Pak ustadz yang terhormat,
saya memiliki teman dekat. Dia dijadikan budak nafsu oleh gurunya sendiri saat di Tsanawiyah. Dia diancam dan harus melayani keinginan gurunya tersebut.
Dan sekarang, dia sudah pergi meninggalkan gurunya. dan selalu dihantui oleh rasa dosa besar yang pernah ia lakukan, walaupun pada saat itu, kondisinya dia dipaksa. Bagaimana dia harus menebus dosa itu?
Terima kasih,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Seorang yang dipaksa melayani nafsu seksual secara menyimpang dari ketentuan syariah, kedudukannya adalah orang yan dipaksa. Dalam istilah fiqih disebut dengan mustakrah.
Di dalam sabda suci nabi SAW, disebutkan bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang diharamkan tidaklah termasuk orang yang berdosa.
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ قَالَ إِنَّ اَللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي اَلْخَطَأَ, وَالنِّسْيَانَ, وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَالْحَاكِمُ
Dari Ibnu Abbas ra. dari nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak menganggap berdosa orang yang salah, lupa dan dipaksa. (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim)
Orang yang dipaksa melakukan perbuatan yang terlarang, apabila dalam kondisi yang lemah dan tidak mampu melawan, sesungguhnya adalah orang yang tidak akan dimintai pertanggung-jawab dalam pandangan syariah. Jadi jangankan siksa neraka, berdosa pun tidak. Karena posisinya sebagai korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Yang perlu dilakukan adalah bimbingan dan penyuluhan untuk mengatasi trauma masa lalu. Dan masalah ini bisa kita percayakan kepada para psikolog yang memang lebih ahli untuk melakukan terapi secara intensif dan khusus.
Sebab trauma masa kecil atas hal-hal yang dianggap merusak kesucian itu memang seringkali berdampak besar di kemudian hari. Ada banyak kasus yang sudah terbukti terjadi, seperti sikap-sikap abnormal yang tidak biasa. Misalnya, gampang marah tanpa kendali, atau mungkin pernah mengamuk tanpa alasan yang pasti, atau bahkan melakukan hal-hal yang sama kepada orang lain sebagaimana yang pernah dialaminya. Dan masih banyak lagi sikap-sikap yang bermasalah, di mana kalau digali lebih dalam, ternyata penyebabnya adalah trauma di masa lalu.
Dari sisi syariah, yang bisa kita bantu adalah kepastian bahwa orang yang dilecehkan secara seksual, baik sejenis atau lawan jenis, bukanlah pelaku perbuatan dosa. Juga tidak perlu menyesali aib atau coreng di muka. Sebaliknya, posisinya adalah sebagai orang yang mendapat musibah umumnya, seperti korban kemalingan, penjarahan, perampokan, penggusuran, dan berbagai kejahatan kriminalitas lainnya.
Musibah yang pernah dialami itu tidak perlu disesali sepanjang hayat, apalagi sampai menjadi trauma dan ketakutan atas azab Allah SWT. Sebaliknya, sebagai orang yang terdzalimi, korban adalah orang yang apabila berdoa kepada Allah, maka doanya lebih banyak dikabulkan. Sebagaimana pesannabi SAW kepada Muaz bin Jabal saat diutus ke Yaman. Di antara kutipan pesannya adalah:
اتقوا دعوة المظلوم وإن كان كافراً؛ فإنه ليس دونها حجاب
Takutlah atas doa orang yang terzalimi, karena tidak ada hijab (penghalang) antara dirinya dengan Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
Bahkan dalam lain riwayat disebutkan bahwa doa orang yang kafir sekalipun tetap akan dikabulkan Allah SWT, asalkan diadizalimi.
أنس بن مالك – رضي الله عنه دعوة المظلوم وإن كان كافرا ليس دونها حجاب رواه أحمد في مسنده
Dari Anas bin Malik ra, "Doa orang yang terdzalimi meski dia kafir, tidak ada hijabnya (kepada Allah)." (HR Ahmad dalam Musnadnya)
Jadi pada dasarnya tidak ada istilah menebus dosa, karena pada dasarnya tidak ada dosa. Yang perlu dilakukan secara umum adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik di kala senang maupun susah. Istilah menebus dosa hanya akan membawa korban kepada trauma yang tidak ada habisnya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.