Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz Ahmad Sarwat, semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah kepada anda.
Karena keterbatasan waktu saya untuk belajar ilmu agama, maka saya sempatkan untuk selalu membeli buku agama dan belajar agama lewat Internet, di samping seringkali mengikuti pengajian.
Menurut teman saya yang lulusan pesantren tradisional, mengatakan bahwa seseorang yang hanya belajar ilmu agama dari buku semata-mata adalah belum syah ilmu agamanya, dan harus melalui seorang guru. Apakah benar demikian ustadz, apakah ada dalil yang mendasari pendapat tersebut? Setahu saya sesuai ulasan ustadz Ahmad Sarwat, kewajiban belajar yang harus melalui guru adalah belajar Al-Quran, sementara belajar melalui buku dan majalah yang kita beli tentunya tidak ada gurunya (otodidak).
Mohon penjelasan dari Ustadz.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang disampaikan oleh teman anda itu memang ada benarnya. Walau pun tidak berarti bahwa guru adalah segala-galanya.
Bukan hanya dalam belajar agama saja, belajar apapun akan lebih efektif kalau ada gurunya. Dari pada hanya sekedar membaca apa yang tertulis.
Dengan adanya guru, terutama bila guru itu sangat menguasai ilmunya, kita akan lebih leluasa menggali ilmu itu. Misalnya dengan tanya jawab, dialog bahkan kita bisa meminta guru itu mengulangi penjelasannya dengan cara yang berbeda.
Dan guru yang baik, tentu punya tolok ukur keberhasilan dalam mendidik siswanya. Guru akan tahu apakah penejelasannya itu dipahami dengan mudah oleh muridnya ataukah tidak. Bila ternyata tidak, maka guru itu akan menggunakan variasi metode lain yang sekiranya dapat mengantarkan muridnya memahami maksudnya.
Terutama yang akan sangat terasa dalam mempelajari bahasa asing (Arab) dan juga membunyikan ayat Al-Quran. Kedua nyaris tidak mungkin dikuasai kecuali lewat guru. Sebab belajar bahasa Arab dan juga melajar membaca Al-Quran bukan semata-mata informasi, melainkan keterampilan (skill).
Ilmu yang bersifat keterampilan tentu sangat berbeda karakternya dengan ilmu yang bersifat informasi. Menularkan keterampilan butuh interaksi yang lebih intens dan padat ketimbang menyebarkan ilmu yang bersifat informatif.
Sementara kalau kita telusuri ilmu-ilmu ke-Islaman, yang berada pada landasan adalah ilmu bahasa Arab dan membaca Al-Quran. Seorang tidak akan bisa menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman, manakala belum menguasai bahasa Arab, apalagi kemampuan membaca Al-Quran. Dan keduanya tidak bersifat informatif melainkan keterampilan.
Maka apa yang dikatakan teman anda itu memang ada benarnya. Belajar agama Islam memang membutuhkan guru, tetapi bukan berarti membaca sendiri menjadi tidak boleh. Justru setelah dasar-dasar keilmuwan sudah bisa kita miliki, selanjutnya tinggal mengembangkannya. Dan kunci pengembangan ilmu itu adalah banyak membaca. Dengan membaca, wawasan kita pun juga akan semakin luas. Kedalaman ilmu juga semakin bertambah.
Maka keduanya adalah padanan metode belajar Islam yang sangat esensial, berguru dan juga membaca.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.