Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Ustadz yang terhormat, apakah dalam menjalankan syariat agama Islam kita harus menganut satu mazhab tertentu dengan konsisten? Kalau "ya" bagaimana memulainya? Maksud saya kalau saya ingin bermazhab Syafii kepada kelompok mana saya harus belahar? Demikian. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mazhab dalam fiqih tidak sama dengan sekte dalam agama nasrani. Sebab mazhab adalah sebuah metodolgi dalam menarik kesimpulan hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan sekte dalam agama nasrani merupakan perpecahan pada wilayah yang paling mendasar dalam suatu agama.
Sedangkan mazhab fiqih merupakan bentuk variasi dalam metodologi ilmiyah, di mana masing-masing mazhab itu mewakili kekuatan ilmiyahnya masing-masing. Kalau kita bandingkan dengan dunia software, kira-kira adanya mazhab fiqih sama dengan keberadaan sistem operasi pada PC yang kita kenal dewasa ini. Misalnya, ada yang menggunakan microsof Windows, ada yang menggunakan Apple Machintos, bahkan ada yang menggunakan Linux yang freeware.
Semuanya berguna buat manusia sebagai sistem operasi PC, di mana masing-masing punya kelebihan sekaligus kekurangan. Kalau dalam satu komunitas terdapat beberapa sistem operasi, bukan berarti di dalamnya telah terjadi perpecahan atau peperangan. Dan meski berbeda sistem operasi, masing-masing PC tetap bisa terkoneksi dalam satu jaringan.
Tidak Ada Kewajiban untuk Berpegang pada Satu Mazhab
Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan kita untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Bahkan para shahabat Rasulullah SAW dahulu pun tidak pernah diperintahkan oleh beliau untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari shahabat bila mereka mendapatkan masalah agama.
Maka tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah mazhab. Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga.
Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi mazhab qadim-nya dengan mazhab jadid. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah:"Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi mazhabku."
Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendadapat) atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam mazhab itu sangat mungkin terjadi. Bila di dalam sebuah mazhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
Memang ada sedikit perbedaan pendapat di antara para fuqoha tentang masalah keharusan perpegang hanya pada satu mazhab.Secara garis besar, kira-kira demikian:
1. Pendapat Pertama: Wajib berpegang pada satu mazhab saja.
Pendapat mereka berangkat dari pemikiran bahwa imam mazhab telah memiliki metodologi tersendiri dalam membangun mazhab. Dan semua pendapatnya itu berangkat dari metodologi yang telah disusunnya, bukan sekedar pendapat yang bermunculan secara tiba-tiba.
Dengan demikian maka pendapat-pendapat yang bersumber dari satu mazhab tertentu lahir dari sebuah proses yang teratur dan memiliki pola istimbath yang konsisten. Sehingga bila berpindah-pindah mazhab akan mengakibatkan ketidak-konsistenan dalam metodologi. Menurut pendukung pendapat ini, seseorang harus konsisten dalam metodologi mazhab.
2. Pendapat kedua: Tidak wajib untuk bertaqlid kepada satu mazhab sana.
Menurut para pendukung pendapat ini, seseorang boleh mengikuti pendapat yang berbeda dari beragam mazhab. Karena tidak ada perintah untuk berpegang tegus kepada satu orang mujtahid saja.
Ketika seseorang bermazhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah atau pun Al-Hanabilah, maka pada suautu masalah tertentu boleh saja dia tidak sepakat dengan pendapat mazhabnya. Hal seperti itu lazim terjadi dan sama sekali tidak ada larangan.
Allah sendiri tidak pernah mewajibkan seseorang untuk betaqlid pada mujtahid tertentu. Kalaupun ada perintah, maka Allah memerintahkan seseorang untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum. Allah berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada ahli ilmu bila kamu tidak mengerti (QS. Al-Anbiya`: 7)
Selain itu berpegang hanya pada satu mazhab saja tanpa dibolehkan melihat kepada mazhab lainnya merupakan sebuah kesempitan dan kesuilitan. Padahal adanya mazhab sebenarnya merupakan rahmat dan nikmat.
Apalagi di zaman yang semakin berkembang ini di mana bisa saja pandangan dari suatu mazhab menjadi kurang tepat untuk diterapkan lagi, sedangkan pandangan dari mazhab lain yang dulu kurang populer justru lebih terasa mengena di zaman ini. Karena itulah maka pendapat kedua ini nampaknya lebih tepat dan juga pendapat inilah yang disepakati oleh jumhur ulama.
Belajar Fiqh dengan Satu Mazhab atau Banyak Mazhab
Pada dasarnya hampir semua pengajaran masalah fiqih pada tingkat dasar, merupaka nkelaziman bila yang diajarkan hanya satu mazhab saja. Misalnya, ilmu fiqih yang diajarkan di banyak pesantren, madrasah, jamaah pengajian, majelis taklim dan lainnya, umumnya mengajarkan fiqih dengan satu mazhab saja.
Keunggulannya, pelajaran itu jadi lebih praktis, cepat, efisien dan aplikatif. Karena belum lagi bicara tentang perbadaan pendapat di kalangan ulama. Sehingga tidak menimbulkan kebingungan buat mereka yang masih baru belajar.
Justru yang sangat jarang diberikan adalah ilmu fiqih dalam bentuk perbandingan mazhab. Metode ini nyaris boleh dibilang tidak pernah disampaikan di pesantren tradisional, pengajian atau majelis taklim. Sebab selain kekurangan referensi, kita pun kekuranan tenagaahli fiqih yang menguasai fiqih perbandingan mazhab. Selain itu, metode ini hanya cocok buat mereka yang sudah berada pada level lanjutan.
Namun metode pengajaran fiqih dengan langsung membahas perbandingan dan perbedaan pendapat, juga punya keunggulan. Misalnya, masyarakat jadi tahu bahwa teknis ibadah itu ternyata bukan hanya satu versi, melainkan ada banyak versi. Selain itu, bila suatu ketika berhadapan dengan saudara-saudara muslim dari mazhab lain yang kebetulan berbeda teknis ibadahnya, sudah tidak asing lagi dan malah semakin erat hubungannya. Sehingga potensi perpecahan umat justru bisa diredam, karena masing-masing sudah punya wawasan tentang perbedaan masing-masing mazhab.
Buat mereka yang baru saja mengenal ilmu fiqih, seperti anak sekolah atau masyarakat awam, belajar fiqih dengan satu mazhab memang lebih tepat. Sebaliknya, buat tingkat lanjutan, belajar fiqih dengan perbandingan mazhab bisa menambah wawasan.
Wallahu a`lam bish-shawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.