Bapak Ustadz,
Assalaamu’alaium wr. wb.
Saya pernah membaca dalam uraian Bapak tentang dibolehkannya shalat di lantai rumah atau kantor tanpa alas/sajadah asalkan tidak kelihatan ada benda najis yang tampak. (Cara Pemecahan Shalat Dikarenakan Pekerjaan)
Saya menjumpai kasus sebagai berikut: Di rumah saya ada seorang bayi berumur lebih dari 1 tahun dan sudah memakan makanan lain selain ASI. Kadang-kadang, air kencing bayi tersebut membasahi lantai rumah kami, dan kami hanya mengelapnya dengan kain pel basah. Setahu saya, ini bukan cara bersuci yang benar, karena seharusnya menggunakan air yang mengalir, bukan dengan lap basah.
Guru mengaji saya mengatakan hukum dari lantai rumah tersebut adalah najis hukmiyah meskipun bekas kencing bayi sudah tidak kelihatan. Karena itu, menurut guru mengaji saya, tidak sah shalat di atas lantai rumah saya tanpa alas yang suci.
Pertanyaan saya:
1. Apakah ada pendapat ulama’ terdahulu tentang najis hukmiyah?
2. Sah atau tidak, shalat di lantai rumah yang kadang-kadang terkena kencing bayi tanpa disucikan dan bekas air kencing sudah kering/tidak tampak.
Terima kasih atas jawaban dari Ustadz,
Wassalaam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Menghilangkan najis itu memang dilakukan dengan air sebagai media untuk mensucikan. Namun bukan berarti air harus dialirkan sehingga membanjiri benda yang kena najis.
Yang dimaksud dengan penggunaan air adalah bahwa sebuah najis dihilangkan dengan menggunakan media air. Dan lap yang basah itu pada hakikatnya merupakan air juga. Sehingga najis yang ada dilantai bisa dihilangkan setelah hilang baunya, rasanya atau warnanya. Baik dengan menggunakan media air atau pun media lainnya.
Sebab inti masalahnya bukan pada airnya, melainkan semata-mata pada hilangnya najisnya itu, apapun medianya.
Yang sedikit lebih detail dalam masalah najis adalah mazhab Asy-Syafi’i. Di dalam mazhab Asy-Syafi’i sebagaimana yang tertuang dalam kitab Kasyifatus-Saja, disebutkan bahwa memang ada dua jenis najis.
Pertama adalah najis yang kelihatan kenajisannya. Najis ini disebut najis ‘ainiyah. Asal katanya dari kata ‘ain yang berarti mata, karena najis itu kelihatan dengan mata telanjang. Yang menjadi ukuran adalah warna, rasa dan aroma. Najis jenis ini dihilangkan dengan menghilangkan ketiganya.
Kedua adalah najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak nampak oleh mata. Lantaran sudah tidak ada lagi rasa, warna atau aroma. Najis jenis ini dihilangkan hanya dengan mengalirkan air di atasnya sekali saja.
Maka cara membersihkan lantai yang diketahui pasti pernah ada najisnya tapi sudah tidak kelihatan lagi adalah dengan cara menuangkan air di atasnya lalu dilap dan dikeringkan. Tentu saja bukan dengan membanjiri seluruh lantai, cukup pada bagian yang diyakini pernah ada najisnya saja. Jadi cukup dengan sedikit air saja lalu diseka dan sucilah lantai itu.
Perlu diingat bahwa najis hukmi itu tidak boleh dibuat-buat dengan berandai-andai. Tapi hanya ada manakala kita tahu pasti bahwa di lantai itu memang pernah ada najisnya. Kita tahu dengan mata kepala kita, bukan dengan menebak-nebak atau menduga-duga. Sebab asal segala sesuatu adalah suci. Dan tidak pernah menjadi najis kecuali ada sebuah fakta nyata bahwa memang ada najis secara hakiki. Lalu bila najis itu tiba-tiba tidak nampak lagi, maka jadilah lantai itu najis hukmi.
Maka tidak mungkin terjadi tiba-tiba ada lantai yang najisnya menjadi hukmi. Tetapi pasti melewati proses najis ‘aini terlebih dahulu.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.