Apakah menyentuh wanita setelah wudhu dapat menyebabkan wudhu kita batal? Terima kasih atas jawabanya.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dalam masalah hukum wudhu’, hukum menyentuh wanita bagi seorang laki-laki menjadi maalah yang diperdebatkan. Sebagian ulama mengatakan sentuhan kulit langsung itu membatalkan wudhu’. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang membatalkan hanyalah bila sentuhan itu diiringi dengan syahwat. Sebagian lagi mengatakan bahwa yang batal hanyalah pihak yang menyentuh, sedangkan yang disentuh tidak batal.
Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa sentuhan yang dimaksud bukan sentuhan kulit, melainkan sebuah bahasa ungkapan halus dari hubungan seksual.
Padahal ayat yang mereka gunakan sama, yaitu ayat 23 surat An-Nisa’:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa: 23)
Perhatikan terjemahan yang kami tebalkan, kamu telah menyentuh perempuan. Inilah kata yang oleh para ulama diperselisihkan. Uraiannya berikut ini:
a. Pendapat Yang Membatalkan
Sebagian ulama mengartikan kata MENYENTUH sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wuhu`. Ulama kalangan As-Syafi`iyah cenderung mengartikan kata MENYENTUH secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi`i nampaknya tidak menerima hadits Ma`bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi`iyah, maka kita juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya, sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu`nya adalah yang sengaja menyentuh, sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh, maka tidak batal wudhu`nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami isteri). Menurut sebagian mereka, bila sentuhan itu antara suami isteri tidak membatalkan wudhu`.
b. Pendapat Yang Tidak Membatalkan
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah, sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti pisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu`. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah), maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu`.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para isterinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian isterinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada Aisyah, ”Siapakah isteri yang dimaksud kecuali anda?”. Lalu Aisyah tertawa.(HR Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
Jadi kita tetap akan menemukan sepanjang masa, umat Islam yang berpendapat sesuai dengan pendapat pertama dan kedua. Sebenarnya masing-masing tidak bisa disalahkan, karena kedua pendapat itu lahir dari hasil ijtihad para ulama yang punya kompetensi tingkat tinggi. Jadi silahkan pilih pendapat yang mana saja yang menurut anda lebih kuat.
Namun jangan sekali-kali menyalahkan pendapat orang lain, sekiranya tidak senada dengan pendapat kita. Setidaknya, tidak perlu harus mencaci maki, menjelekkan, mencemooh, apalagi sampai harus menuduhnya sebagai ahli bid’ah atau pun calon penghuni neraka. Cara berbeda pendapat seperti itu kurang mencerminkan kedewasaan dalam etika berilmu. Sebaiknya kita hindari.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc