Assalamualaikum wr wb,
Ustadz, saya ingin bertanya berkenaan dengan kondisi banjir yang tengah melanda Jakarta saat ini. Bagaimana cara yang paling mudah bagi warga korban banjir untuk bersuci/berwudhu? Bolehkah air banjir tersebut digunakan untuk berwudhu?
Dan mengenai shalat yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun, bolehkah bersolat sambil berdiri di dalam genangan air banjir?
Terima kasih
Wassalamualaikum wr wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dalam fiqih kita mengenal hukum air yang secara umum oleh para ulama dikatakan bahwa hukum asalnya adalah mutlak. Mutlak artinya adalah bahwa semua air yang ada di alam ini hukumnya suci dan mensucikan.
Selama air itu tidak tercampur dengan benda najis, maka hukum air itu tidak berubah dari suci menjadi najis.
Air Yang Kemasukan Najis
Khusus air yang kemasukan najis, para ulama membaginya menjadi air banyak dan air sedikit.
Dan hukum air sedikit adalah bila berubah dipengaruhi oleh benda najis yang tercampur di dalamnya, salah satu dari tiga hal, yaitu warna, rasa atau aromanya, maka hukum air itu berubah menjadi air najis. Batasannya air yang sedikit adalah air yang kurang dari dua qullah. Dalam kitab-kitab fiqih modern banyak disebutkan bahwa jumlah itu adalah 270 liter.
Sedangkan air yang jumlahnya lebih dari 2 qullah disebut air yang banyak. Hukumnya secara umum adalah air mutlak yang suci dan mensucikan. Kecuali bila air itu secara umum adalah air najis, seperti air di penampungan limbah kotoran hewan, air limbah rumah sakit. Maka meski jumlahnya banyak, namun melihat wujud pisiknya yang berupa limbah, bahkan baunya sudah sedemikian menyengat, tentu tidak suci lagi untuk digunakan.
Sedangkan air banjir besar dan massal seperti yang sekarang sedang terjadi di Jakarta, tidak bisa dikategorikan sebagai kotor semua. Justru kita katakan secara umum bahwa air banjir itu suci. Bahwa sebagiannya ada yang tercampur dengan air najis, misalnya masuk ke septik tank, atau bercampur dengan air limbah kotoran hewan dan sebagainya, memang tidak dapat dipungkiri.
Namun kalau dibandingkan dengan jumlah volume air banjir massal seperti yang terjadi saat ini di Jakarta, tentu prosentasenya menjadi sangat kecil. Tentu semua ini kalau kita lihat secara umum.
Namun tidak menutup kemungkinan, di daerah perumahan tertentu, air banjir yang masuk ke dalam rumah kadar kontaminasi air dengan najis termasuk tinggi. Misalnya, warnanya hitam atau hijau, aromanya khas aroma najis, atau indikator-indikator lainnya yang sekiranya dapat dijadikan sandaran bahwa air itu tercemar berat dengan najis.
Sedangkan bila warna itu sekedar keruh karena tercampur dengan tanah atau lumpur, ketahuilah bahwa tanah dan lumpur bukan benda najis. Meksi kita menyebutnya sebagai kotoran, namun dalam bahasa fiqih, tidak semua yang kotor itu najis. Butinya, kita bertayammum menggunakan tanah. Bukankah tanah itu kotor? Benar, tanah itu dikatakan kotor namun sekali lagi kita tetapkan bahwa tanah itu bukan benda najis. Walhasil, kalau ada air keruh karena tanah, kekeruhan itu tidak secara otomatis melahirkan kenajisan. Air keruh belum tentu najis.
Shalat di Air Banjir
Tidak ada halangan untuk shalat dalam keadaan becek dengan air banjir. Selama tidak ada indikasi adanya najis yang pasti. Indikasinya adalah aroma najis. Misalnya aroma kotoran manusia. Tapi kalau aromanya adalah aroma tanah atau lumpur, maka tanah becek atau banjir itu tidak najis.
Yang terlarang adalah kita shalat di atas tempat yang 100% diketahui kenajisannya. Misalnya, shalat di atas genangan darah, nanah, timbunan bangkai, atau di dalam septink tank.
Sedangkan bila shalat di air banjir yang tidak dipastikan kenajisannya, hukumnya kembali kepada hukum asal air mutlak. Yaitu boleh dan tidak menjadi masalah.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc