Assallamualaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang terhormat,
Apa yang harus kita lakukan, jika badan kita terluka (baca: kecelakaan) di mana menurut keterangan medis luka tersebut tidak boleh terkena air, sementara kita sedang dalam keadaan junub, dan belum sempat bersuci (baca: mandi junub). Apa yang harus kita lakukan agar tetap bisa melaksanakan shalat? Apakah mandi junub dapat di ganti dengan hanya bertayamum atau ada cara yang lain? Mohon penjelasannya. Jazzakallahu.
Assalamu ‘alaikum wrahmatullahi wabarkatuh,
Islam adalah agama yang sangat memudahkan pemeluknya dalam menjalankan syariatnya. Nyaris tidak pernah terjadi jalan buntu dalam masalah syariah. Selalu saja ada jalang keluar yang pada hakikatnya merupakan ciri khas syariat terakhir ini. Beban berat yang pernah ditimpakan kepada umat terdahulu, sudah diangkat oleh Allah SWT sehingga umat Muhammad SAW mendapatkan begitu banyak kemudahan.
Salah satunya adalah dalam masalah bersuci dan mandi janabah. Bila seseorang dalam keadaan sakit sehingga tidak mampu untuk mandi, maka tidak ada kewajiban atasnya untuk mencelakakan diri sendiri. Dan sebagai gantinya, cukuplah dilakukan tayammum saja, sebab tayammum itu bukan hanya berfungsi sebagai pengganti wudhu’, namun juga termasuk sebagai penggantai mandi janabah.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Jabir ra berkata: Kami dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya, "Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?" Teman-temannya menjawab, "Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air." Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu, bersabdalah beliau, "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum…" (HR Abu Daud 336, Ad-Daruquthuny 719).
Namun apabila tubuhnya masih mampu untuk mandi dengan air, kecuali hanya bagian yang terlukanya saja, boleh saja tetap mandi dengan meninggalkan bagian yang luka. Biasanya bagian luka itu ditutup dengan perban, yang di dalam istilah fiqih disebut dengan jabiirah.
Dan para ulama sepakat dibolehkan tidak mengguyur perban itu dengan air saat bersuci, baik yang berbentuk wudhu’ maupun mandi janabah. Sebagai gantinya, para ulama mengatakan bahwa perban itu cukup diusap saja dengan tangan yang basah dengan air, tidak perlu diguyur atau pun dicelupkan.
Landasan hukumnya adalah apa yang kita terima dari hadits mulia berikut ini,
Dari Ali ra. berkata: Pergelangan tanganku terluka pada saat perang Uhud, maka bendera terlepas dari tanganku. Nabi SAW bersabda, "Letakkanlah bendera itu di tangan kirinya, karena Ali adalah pembawa benderaku di hari kiamat." Aku bertanya, "Apa yang harus aku lakukan dengan perban ini?" Beliau SAW menjawab, "Usapkan saja di atasnya."
Untuk dibolehkan membasuh perban yang menutupi luka, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelumnya. Antara lain:
1. Bila luka itu terkena air maka luka itu membahayakan. Atau dikhawatirkan akan berakibat buruk apabila perban itu dibuka.
2. Bila membasuh anggota tubuh yang sehat masih dimungkinkan dan tidak membahayakan anggota tubuh yang luka, maka caranya dengan berwudhu’ biasa, lalu tepat pada bagian yang luka dan diperban, cukup diusap saja. Sedangkan bila anggota tubuh yang sehat dibasuh namun berpengaruh juga kepada yang luka, saat itu tidak perlu berwudhu’ melainkan diganti saja dengan tayammum.
3. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa bila yang luka itu nyaris hampir semua badan, maka bukan dengan diusap melainkan dengan tayammum saja.
4. Dalam shahih yang masyhur, As-Syafi’iyah mensyaratkan bahwa untuk bolehnya mengusap di atas perban adalah bahwa orang yang terluka itu sebelumnya harus sudah berwudhu’ terlebih dahulu. Sehingga hukumnya sama dengan mengusap pada sepatu (al-mashu ‘alal khuffaini), di mana syaratnya adalah sebelum memakai sepatu harus sudah dalam kondisi berwudhu’.
Dan bila sebelumnya belum berwudhu, perban itu wajib dibuka dan dibasuh dengan air. Namun semua itu hanya bila luka itu tidak terlalu parah dan resikonya tidak terlalu besar. Namun bila resikonya besar dan lukanya berat, maka tetap sah bila diusap saja. Dan untuk itu yang bersangkutan harus mengqadha’ shalatnya, lantaran syarat wudhu’nya tidak terpenuhi.
Namun dalam riwayat yang lain, datang pendapat yang berbeda dengan pendapat ini. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa pendapat di atas syadz. Beliau mengatakan tidak ada keharusan untuk berwudhu’ dulu sebelum memakai perban.
Di dalam mazhab As-Syafi’i sendiri ada dua macam cara mengusap perban. Pertama, perban itu harus diusap seluruhnya. Kedua, perban itu cukup diusap pada bagian lukanya saja, tidak perlu sepanjang perban.
Wallahu a’lam bishshawab.
Wassalamu ‘alaikum wrahmatullahi wabarkatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.