Teknologi pengintaian (surveillance) Israel juga cukup popule. Salah satunya spyware Pegasus yang didesain untuk menyadap telepon genggam. Sesuai iklannya, teknologi yang diproduksi oleh NSO Group di Herzliya ini dipasarkan ke agen-agen pemerintah untuk menyelidiki dan melacak terroris, penyelundup obat terlarang, pedofil, atau pelaku kriminal lainnya. Namun, sebagaimana dilaporkan The Guardian, teknologi NSO Group rupanya telah digunakan oleh rezim-rezim otoriter untuk memata-matai jurnalis dan aktivis HAM.
Uni Eropa tidak ketinggalan untuk menggunakan teknologi Israel. Tahun lalu, sebagaimana dilaporkan oleh Euro-Mediterranean Human Rights Monitor, badan pengawas perbatasan Eropa, Frontex dan EMSA, menginvestasikan 59 juta euro kepada dua perusahaan militer Israel, Elbit Systems dan Israel Aerospace Industries).
Salah satu pesanan Frontex adalah drone nirawak Hermes 900 produksi Elbit. Drone tersebut pernah diujicobakan di Jalur Gaza dalam Operation Protective Edge pada 2014 yang menewaskan 2.000 orang Palestina dan 72 orang Israel. Rencananya, Hermes akan digunakan oleh Uni Eropa untuk mengawasi dan menyuplai informasi intelijen terkait pergerakan pencari suaka yang menyeberangi Laut Tengah untuk menepi di Eropa. Kepala Badan Pengawas Euro-Med Monitor, Prof. Richard Falk, mengkritik betapa memalukannya tindakan Uni Eropa membeli drone Israel yang digunakan untuk menindas rakyat Palestina.
Ia juga menyatakan bahwa Uni Eropa tidak manusiawi karena menggunakan drone untuk mengacam hak-hak migran yang mencari suaka di Eropa. Penggunaan teknologi drone buatan Israel juga menimbulkan kontroversi ketika dimanfaatkan oleh Inggris untuk mendukung kerja tim SAR, seperti dikabarkan oleh iNews.
Selain itu, mirip seperti kejadian di Uni Eropa, Inggris sudah setengah tahun lebih mengoperasikan drone buatan Portugal untuk memonitor aktivitas geng penyelundup dan migran ilegal yang menyebarangi Selat Inggris. Ketika Protes Massa Dianggap sebagai Ancaman Selain bertindak keras terhadap kelompok minoritas, banyak negara diwartakan menggunakan taktik agresif untuk menghadapi mobilisasi sosial dan demonstrasi massa. Dalam laporan RAIA, terdapat pembahasan tentang bahan kimia pembubar aksi massa bernama dagang Skunk yang diproduksi perusahaan Israel, Odortec. (Ket: Skunk di Indnesia dikenal sebagai nama hewan Sigung, yang akan mengeluarkan gas sangat berbau yang beracun bagi musuh-musuhnya)
Terbukti ampuh melemahkan demonstran Palestina di Tepi Barat, Skunk menimbulkan rasa mual bagi yang terpapar. Zionis-Israel rupanya memasarkan produk ini untuk angkatan kepolisian di seluruh dunia, termasuk AS. Menurut RAIA, perusahaan AS Mistral Security sudah mulai menjual Skunk pada departemen kepolisian dalam negeri termasuk Kepolisian Metropolitan St.
Louis, seiring munculnya gelombang protes di Ferguson tahun 2014 pasca-kematian Michael Brown. Dikutip dari situs Mistral Security, Skunk disebut-sebut bisa digunakan untuk meredam aksi demonstrasi dan protes pendudukan (sit-in). Terlampir di laman iklan foto aparat polisi yang tengah berjaga pada aksi demo. Produk kimia Skunk termasuk non-lethal atau less-lethal weapons, alias senjata yang tidak terlalu mematikan. Dilansir dari National Geographic, senjata non-mematikan diadopsi dari teknik militer sebagai ganti dari senjata api yang bertujuan untuk “membuat perang menjadi lebih manusiawi” karena tidak akan melukai atau membunuh orang.