Pengajar Stanford University David Palumbo-Liu, melalui studi komparatif yang mencerahkan di Salon, menawarkan pendekatan lain untuk memahami tragedi kemanusiaan yang dialami oleh komunitas kulit hitam AS dan masyarakat Palestina, yakni melihat kesamaan nasib kedua komunitas terlepas dari perbedaan pengalaman historis dan konteks politiknya berbeda. Salah satu analisisnya menjelaskan bahwa baik orang kulit hitam AS dan warga Palestina sama-sama pernah kehilangan rumah serta mengalami penindasan tiada henti.
Pada kasus orang kulit hitam, mereka diboyong dari tanah kelahirannya sebagai budak dan dipaksa bertahan hidup di bawah naungan rasisme sistemik Amerika. Akibatnya, mayoritas dari mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan layak, pendidikan, kesehatan dan fasilitas lainnya.
Sedangkan warga Palestina, sejak Nakba 1948, kehilangan tanahnya di bawah pendudukan Israel yang terus-terusan merampas hak hidup layak mereka. lanjut Palumbo-Liu, terjebak dalam kemiskinan dan keterbatasan akses kerja, pendidikan, hunian layak, sementara warga Palestina kesulitan meningkatkan kualitas hidup mereka sejak pendudukan Israel dan blokade militer di Gaza, ditambah dengan krisis air, listrik, bahan bakar serta keterbatasan mengolah pangan. Belakangan, sejumlah aktivis kulit hitam dari AS dan Palestina menggalang gerakan solidaritas.
Rakyat Palestina bahkan menyatakan mengunjukkan simpati mereka terhadap Michael Brown, remaja kulit hitam yang ditembak mati oleh polisi di Ferguson, Missouri, pada 2014 silam. Ungkapan simpatik yang dituangkan dalam deklarasi yang ditandatangani oleh perwakilan rakyat Palestina dari kelompok akademisi dan pembela HAM ini juga menyatakan solidaritas kepada warga AS yang berdemo melawan kebrutalan polisi di Ferguson.
Mereka menyatakan upaya komunitas kulit hitam melawan rasisme telah menjadi inspirasi untuk memperjuangkan martabat bangsa Palestina. Dari Gaza ke Seluruh Dunia Kekerasan oleh negara tidak hanya terlihat dalam hubungan mutualis Israel-AS. Tak sedikit negara di dunia yang mengadaptasi seni perang Israel. Menurut Middle East Monitor, teknologi militer dari Israel cukup populer di antara sekian negara kompetitor karena sudah terbukti ampuh setelah diujicobakan selama ini dalam konflik-konflik di di Gaza dan daerah di kawasan Timur Tengah lainnya.
Dilaporkan oleh Inside Arabia, Israel menjalin hubungan baik dengan India sejak 2003. Mereka melatih prajurit India dan menyediakan pesawat nirawak drone, pengintai laser dan target, senjata air-to-ground canggih untuk memberangus protes di Kashmir.
Zionis-Israel juga mempersenjatai dan melatih angkatan militer Myanmar saat mereka melancarkan serangan operasi untuk meneror minoritas Muslim Rohingya pada 2016. Laporan SIPRI menyebutkan Tel Aviv telah lama mendukung rezim-rezim tangan besi dari apartheid Afrika Selatan hingga diktator Nikaragua Somoza yang diketahui membunuhi 500 orang rakyatnya setiap hari.
Studi tahun 2011 mengungkap bahwa Israel masih menyuplai kurang dari seperempat persenjataan ke negara-negara Afrika Sub-Sahara. Pada 2009, diketahui bahwa Nigeria mengimpor 50 persen dari total pengiriman Israel ke kawasan tersebut.