Didalam sebuah buku sejarah yang berjudul “RUNTUHNYA KERAJAAN HINDU JAWA DAN TIMBULNYA NEGARA NEGARA ISLAM JAWA DI NUSANTARA” tulisan Prof. Dr. Slamet Mulyana terbitan Bharatara, Jakarta tahun 1968, dijelaskan bahwa para tokoh sejarah yang memegang tampuk pemerintahan kerajaan Islam Demak dan diantara para Wali Sembilan (Walisongo) adalah orang China atau keturunan China.
Bukunya Prof. Dr. Slamet Mulyana itu mengambil sumber dari bukunya Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan yang berjudul ‘TUANKU RAO”. Buku “TUANKU RAO” ini disusun menurut sumber dari ringkasan atau naskah catatan dari RESIDEN POORTMAN kepada pemerintah Hindia Belanda, yang mana naskah Poortman itu bersumber dari dokumen yang didapat di klenteng SAM PO KONG (nama lain LAKSAMANA MUHAMMAD CHENG HOO) di Semarang dan Klenteng Talang Cirebon.
Bukunya Prof. Dr. Slamet Mulyana ini kemudian dilarang beredar di seluruh wilayah Indonesia oleh Kejaksaan Agung tertanggal 26 Juni 1971 dengn No. Kep.043/DA/6/1971. Adapun alasan dilarangnya buku tersebut beredar di Nusantara adalah karena isi buku tersebut dianggap “menggganggu ketertiban umum dan hukum Indonesia” dan dengan alasan “untuk mencegah jangan sampai timbul hal-hal yang tidak diinginkan dalam masyarakat”. Demikian keterangan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung kepada “Antara” ketika itu.
Dalam bukunya Prof. Dr, Slamet Mulyana itu,dijelaskan bahwa cerita dokumen yang diketemukan di Klenteng Sam Po Kong Semarang itu bermula ketika tahun 1928 Poortman menjadi Pejabat Penasehat Urusan Pemerintahan Dalam Negeri Belanda di Jakarta Saat itu. Pada Tahun itu pula, Residen Poortman ditugaskan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk menyelidiki apakah benar RADEN FATTAH adalah orang TIONGHOA. Residen Poortman tahu, bahwa kata JIM BUN adalah dialek YUNAN yang artinya orang kuat yang mana RADEN FATTAH mendapat julukan JIM BUN, padahal JIM BUN tidak pernah termuat dalam berita TIONGHOA DARI KELUARGA DINASTI MING.