Tradisi istana ini kemudian berkembang, dimana para pejabat istana dan bangsawan membuka pintu rumahnya selama bulan Ramadhan dan menyediakan hidangan berbuka puasa kepada masyarakat umum (Haber Turk, 2018).
Sementara itu dalam memoarnya Ayşe Osmanoğlu, putri Sultan Abdülhamid II (m. 1876-1909), menyebutkan bahwa sang Sultan juga memberikan hadiah kepada para tamunya terutama rakyat miskin.
“Untuk masyarakat yang datang ke area Mabeyn yang terletak antara wilayah Harem dan Selamlık, diş kirası akan diberikan oleh kepala bendahara istana. Setiap malam, satu batalyon tentara akan mendapatkan makanan berbuka puasa di Yıldız Square. Mereka melakukan doa bersama dan diberikan diş kirası, kemudian mereka akan meneriakkan ‘Hidup Sultan!’ untuk merayakannya” (Ayşe Osmanoğlu: My Father, Abdülhamid).
Laylatul Qadar dan Hari Raya Gula
Dalam sejarah Ottoman, Kadir Gecesi atau malam Laylatul Qadar dirayakan dengan sangat meriah pada malam ke-27 Ramadhan. Malam sakral ini dihabiskan dengan membaca Mevlidi Şerif dan Al Qur’an di istana Ottoman dan masjid-masjid di Istanbul.
Pada era Sultan Abdülhamid II, para tamu undangan ini datang ke istana dengan seragam resmi mereka. Sebelum awal mevlidi, mereka diterima oleh Sultan dan Serasker Pasha sesuai dengan pangkat dan protokolnya.
Kemudian Imam Masjid Hamidiye dan Muazin Mizika Hümayun yang akan memimpin pembacaan mevlid mengambil tempat mereka. Para tamu duduk di tempat yang telah disediakan atas arahan Sultan, kemudian disuguhi hidangan air mawar dan permen. Ketika acara selesai para tamu menyampaikan ucapan selamat kepada Sultan disertai doa bersama (Dunya Bulteni, 2012).
Pada malam itu juga menara-menara masjid Istanbul akan dihiasi dengan lampu mahya dan perayaan malam Qadar diramaikan dengan parade istana. Oleh karena itu jalan sepanjang rute pawai akan dilengkapi dengan kursi khusus, lentera, lampu minyak dan obor, kemudian bangunan-bangunan direnovasi dan dicat ulang.
Sultan dan para pejabat istana akan berparade dengan kereta-kereta kuda setelah prosesi mevlidi disertai oleh ribuan pasukan Resimen Kadir, resimen khusus dalam pawai tersebut. Sementara itu keluarga sultan dan para harem akan menunggu di tempat khusus yang disediakan untuk mereka di alun-alun. Setelah bergabung dengan rombongan utama, parade istana tersebut akan melakukan pawai keliling Istanbul dan kemudian kembali ke istana (Aksaray Haberci, 2016).
Hari Raya Idul Fitri dalam tradisi Ottoman disebut dengan Şeker Bayramı atau Hari Raya Gula yang dirayakan selama tiga hari penuh. Penamaan itu berasal dari banyaknya jumlah cokelat, baklava, dan permen bonbon yang dikonsumsi selama perayaan tersebut.
Istilah tersebut juga berasal dari era Sultan Selim II (m. 1566-1574), yang dimana selama tiga hari raya jalanan Istanbul penuh dengan orang yang mengunjungi kerabatnya. Anak-anak membungkuk untuk mencium tangan orangtua dan mengharapkan koin dan permen sebagai imbalan atas tindakan mereka.
Selain itu juga istana seringkali mengirimkan nampan-nampan permen ke pos-pos tentara di bulan Ramadhan, dari sinilah tradisi halk tatlısı atau manisan rakyat dimulai. Toko-toko kue akan dipenuhi dengan berbagai macam manisan seperti tulumba, baklava, dan cokelat untuk dibagikan kepada tamu selama hari raya (Inside Out In Istanbul, 2018).
Pada akhirnya berbagai kisah mengenai tradisi Ramadhan di era Ottoman ini menunjukkan kepada kita betapa kayanya kebudayaan kekaisaran Islam tersebut. Cerita penuh warna yang pernah muncul di memori masa kecil kita akan para sultan, pangeran, harem, masjid besar, pawai istana bisa jadi terinspirasi dari kisah peradaban Ottoman. Sebuah peradaban Islam yang mempengaruhi banyak bangsa Muslim di dunia bahkan setelah masa kejatuhannya.(end)
Penulis: Yollanda Vusvita Sari, Wakil Ketua Umum RANIA Turki, Pemerhati Budaya Ottoman
Sumber: RepublikaOnline