Namun, kehidupan politik di Gaza tidak stabil, menjadi perebutan antara kekuatan di Mesir, Suriah, dan Arab Badui. Pada 985 M, penulis sejarah Arab al-Maqdisi melaporkan, Gaza adalah kota utama Distrik Filistin. Tetapi, perdagangan Mediterania merosot dengan mundurnya pengaruh Bizantium.
Tentara Salib menguasai Gaza pada 1100 M, setahun setelah mereka berhasil menguasai Yerusalem. Masjid kota dihancurkan dan dibangun sebuah gereja baru di sekitar situs kuil kuno Marna. Ketika Salahuddin al-Ayyubi mencoba menguasai Gaza pada 1170 M, ia hanya memenangkan daerah kecil. Setelah kemenangan di Galilea dan Yerusalem 17 tahun kemudian, ia kembali ke Gaza. Tetapi, dalam perjanjian dengan Raja Inggris Richard pada 1191, Salahuddin melepaskan Gaza dengan syarat benteng dan temboknya dihancurkan.
Sebagian besar bangunan tua di Gaza yang tersisa saat ini adalah peninggalan Dinasti Mamluk di Mesir. Untuk melindungi perdagangan mereka, Mamluk membangun khan atau hostel kafilah berbenteng di seluruh Palestina. Abad ke-14 M, khan al-Zayt dibangun oleh Sanjar al-Jawali. Al-Jawali juga mengubah gereja yang besar menjadi Masjid Umar. Ia membangun rumah sakit, sekolah, dan arena pacuan kuda.
Ketika Ottoman mengambil Palestina dari Mamluk pada 1516 M, Gaza tetap menjadi wilayah prioritas. Pada 1660 M, seorang pelancong Prancis membandingkan Gaza dengan Paris dan mencatat bahwa bahasa Arab, Turki, dan Yunani diucapkan oleh para penduduk Gaza ketika itu.
Napoleon memasuki Gaza tanpa perlawanan pada 1799. Seperti Cambyses, Aleksander, dan Tentara Salib, ia mengambil Gaza sebagai batu loncatan menuju Mesir. Napoleon tinggal tiga hari di istana di Gaza yang disebut Kastil Napoleon. Pada Perang Dunia I, Angkatan Laut Inggris memanfaatkan bukit Gaza sebagai benteng pertahanan. (Republika)