Bagaimana bila kekuasaan sudah kehilangan kepercayaan dan dukungan rakyat? Dengan sendirinya pemerintah itu akan ambruk. Pemerintah akan tidak efektif menjalankan fungsinya. Meskipun, pemerintah itu masih dapat menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
Ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah akan menjadi ancaman bagi pemerintahan yang sudah kehilangan dukungan. Ini semua berawal ketika pemerintah tidak tegas, dan tidak berani mengambil langkah-langkah yang efektif, khususnya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi perhatian rakyat secara luas.
Misalnya, sekarang Presiden SBY mengeluarkan 12 instruksi untuk menyelesaikan kasus Gayus, yang menjadi ‘bintang’ media, karena tindakannya yang berkomplot dengan para wajib pajak, yang merugikan negara, dan jumlahnya bisa mencapai triliun rupiah. Sungguh sangat hebat dan luar biasa, Presiden SBY harus mengadakan rapat kabinet hanya membahas kasus Gayus, dan kemudian mengeluarkan 12 instruksi kepada para aparat penegak hukum.
Tetapi, apakah akan ada jaminan 12 instruksi akan dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum? Bagaimana kalau para aparat penegak hukum negara tidak melaksanakan? Atau melaksanakan, tetapi hanya bersifat artifsial, karena semua aparat penegak sudah terlibat dan tidak ada yang bersih, dan menerima uang dari Gayus? Ibaratnya, Gayus telah melakukan serangan yang sangat ‘massive’ terhadap semua sasarannya, sehingga sangat nampak dengan jelas mereka menjadi macan ‘ompong’, ketika menghadapi Gayus.
Masalah penegakkan hukum menjadi perhatian masyarakat luas. Setiap hari menjadi sorotan media massa, dan rakyat terus mengikuti berbagai peristiwa yang terjadi khususnya terkait dengan penegakkan hukum, yang terkait dengan para koruptor.
Sejak 2010, pemerintah SBY sudah dihempaskan oleh kasus-kasus korupsi, yang dampaknya sangat luar biasa. Tetapi, pemerintah tidak menunjukkan ketegasan sikap yang jelas, ketika menangani kasus yang terjadi.
Kasus-Kasus Yang Menjadi Perhatian Rakyat
Kasus Anggodo, yang kemudian membuka borok-borok di tubuh aparat penegak hukum. Kasus Anggodo meledak ketika rekaman pembicaraan Anggodo dibuka di dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), yang diliput langsung oleh semua media massa. Tetapi pemerintah dalam menangani kasus Anggodo, menunjukkan kegagalan aparat penegak hukum.
Ada kasus yang lain, yang meledak lebih dahsyat, dan menyita energi bangsa ini, yaitu kasus bail out Bank Century, yang menghabiskan uang Rp 6,7 triliun. Kasus ini melibatkan DPR, yang kemudian membentuk Pansus. Pansus mengambil keputusan, yang intinya adanya pelanggaran hukum, dan keputusan Pansus DPR itu, menyebut nama Sri Mulyani dan Boediono.
Tetapi, sesudah Sri Mulyani mengundurkan diri sebagai Menkeu, dan meninggalkan Indonesia menuju AS, kasus Bank Century ditutup, bersamaan dengan dibentuknya Setgab (Sekretariat Gabungan), yang merupakan rumah baru bagi partai-partai koalisi pemerintah, yang dipimpin Presiden SBY, dan ABurizal Bakri sebagai pelaksanaan harian.
Kasus Bank Century ditutup, dan hilang seperti ditelan angin, muncul kasus baru, yaitu kasus Gayus Tambunan, yang melibatkan lebih luas lagi kaitannya, dan menjadi isu politik yang sangat penuh dengan intrik. Tetapi, kasusnya sendiri menjadi berlarut-larut, lebih dari satu tahun tidak selesai.
Gayus sendiri menjadi seorang ‘making news’, bukan seperti seorang penjahat, dan mendapatkan covered media yang luar biasa. Bahkan, Gayus dengan sangat penuh percaya diri menawarkan dirinya menjadi staf khusus bagi Polri dan Kejaksaan, dan menjamin dalam waktu dua tahun akan habis korupsi di Indonesia. Pernyataan Gayus disampaikan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketika ia membacakan pledoinya. Sungguh ini sebuah penistaan yang luar biasa terhadap hukum.
Gayus mengaku Presiden SBY sudah mengetahui siapa ‘kakapnya, dan bahkan hiunya’, tetapi mengapa pemerintah sampai sekarang tidak melakukan tindakan untuk membersihkan para koruptor dari lembaga-lembaga penegak hukum yang ada? Ini hanya menunjukkan memang adanya keterlibatan yang massif dari lembaga penegak hukum itu, sehingga tidak dapat menyentuh Gayus.
Apalagi, Presiden SBY yang mengeluarkan 12 instruksi terkait dengan penangannya di serahkan kepada Wapres Boeodiono, yang di mata berbagai kalangan sudah menolak, karena Boediono di duga terlibat dalam skandal Bank Century. Penunjukkan Boediono itu justru menimbulkan kekecewaan berbagai kalangan,yang semakin menumpuk ketidak percayaan rakyat.
Inilah berbagai latar belakang yang menyebabkan para pemimpin agama menyuarakan pandangannya dengan suara yang menyatakan pemerintah : ‘berbohong’. Artinya, pernyataan-pernyataan dari pemerintah, terutama Presiden SBY, mengenai penanganan berbagai kasus dan masalah, tetapi implementasi tidak cukup menunjukkan greget, yang dapat memberikan kepercayaan rakyat.
Gerakan yang sekarang menggelinding, mula-mula dari para tokoh agama, dan sekarang terus bergulir ke mana-mana, yang menyatakan pemerintah :’berbohong’, dan terus berlanjut, pasti akan menyebabkan runtuhnya kewibawaan pemerintah. Karena, rakyat sudah tidak percaya lagi, apapun yang dilakukan oleh pemerintah. Jika rakyat sudah tidak percaya dengan apapun yang dikerjakan pemerintah, itu berarti pemerintah itu akan berakhir dengan sendirinya.
Semuanya tokoh yang hadhir di Istana Negara, kemarin, sudah mengeluarkan pernyataan, sepeti Din Syamsuddin, Andreas Wangoe, Syafi’i Maarif, dan Mgr Situmorang, secara terang-terangan menyatakan ketidak puasan mereka atas hasil pertemuan yang berlangsung di Istana Negara, selama empat jam.
Mereka, para tokoh agama yang hadir di Istana, sudah menyampaikan pandangannya kepada Presiden SBY, tetapi mereka umumnya merasa kecewa. Hal ini seperti diungkapkan oleh Din Syamsuddin, di mana dalam pertemuan itu, ia menginginkan agar penangan Gayus dilakukan oleh KPK, tetapi Presiden SBY memilih polisi. "Saya menyarankan kasus Gayus lebih baik diselesaikan oleh KPK. Namun, Presiden menjawab telah memerintahkan kepolisian untuk merampungkannya", ucap Din.
Akhirnya, Gayus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan, hanya di vonis 7 tahun penjara. Hukuman yang sangat terlalu ringan. Ini merupakan potret yang sangat suram penegakkan hukum di Indonesia. Kegagalan pemerintahan SBY dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sekarang menjadi perhatian seluruh rakyat Indonsia. Ini sebuah bukti bahwa instruksi Presiden SBY itu mandul, dan tidak dijalankan oleh aparatnya, khususnya aparat penegak hukum, yang hanya mengganjar Gayus 7 tahun penjara.
Berdampak Terhadap Partai Pendukung
Ketika kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan SBY semakin luas, maka berdampak terhadap dukungan pemerintahan SBY-Boediono, seperti ditunjukkan sebuah hasil survie di ujung tahun 2010, Lembaga Survei Indonesia menggelar survei guna melihat persepsi publik terhadap pemerintah dan partai-partai politik. Salah satu kesimpulannya adalah, tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus menurun sepanjang tahun 2010.
Direktur Eksekutif LSI Dodi Ambardi menjelaskan bahwa bulan Juli 2009 tingkat kepuasan pada SBY mencapai 85 persen, namun angka ini terus menurun sehingga Oktober 2010 menjadi 62 persen. "Memang ada sedikit kenaikan tingkat kepuasan publik atas kinerja SBY dari Oktober (62 persen) sampai Desember (63 persen) tahun 2010, tetapi secara umum trennya cenderung menurun dan stagnan pada 2010," kata Dodi di kantor LSI, Menteng, Jakarta, Kamis 6 Desember 2010.
Adapun tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Wakil Presiden Boediono juga berfluktuasi sejak mulai menjabat hingga Desember 2010 yakni berkisar 49-53 persen. Hal ini, tambah Dodi, agaknya berkaitan dengan menurunnya persepsi publik atas kondisi politik, penegakan hukum, dan kondisi ekonomi yang juga cenderung mengalami penurunan. Korelasi antara persepsi publik atas kondisi politik, penegakan hukum, dan ekonomi, kata Dodi, sangat kuat dan signifikan.
Ruhut Sitompul, Juru Bicara Partai Demokrat, menyatakan kekecewaan itu sebenarnya untuk pemerintahan secara keseluruhan. Di pemerintahan itu ada menteri-menteri. "Beberapa menteri itu yang turun, Pak SBY jelas tak turun," kata Ruhut mengomentari hasil survei itu.
Elektabilitas Partai Turun
Semua partai pendukung koalisi pemerintahan juga mengalami penurunan dukungan, kecuali satu partai, Partai Kebangkitan Bangsa. Partai Demokrat yang menurut LSI pada Januari 2010 mendapat 32 persen, sekarang turun ke tingkat yang sama seperti hasil yang diperoleh dalam Pemilu 2009, 21 persen.
"Yang menarik, merosotnya dukungan terhadap Demokrat ini ternyata tidak dibarengi oleh kenaikan dukungan suara partai-partai lainnya, baik yang berada pada koalisi pemerintah maupun yang di luar koalisi pemerintah. Tidak terjadi pula kenaikan dukungan signifikan pada partai menengah dan kecil," kata Dodi.
Partai Golkar mendapat 12,7 persen, bandingkan dengan hasil Pemilu di mana mendapat 14,4 persen. Data survei itu menunjukkan, posisi Partai Kebangkitan Bangsa (4,8 persen), Partai Keadilan Sejahtera (4,6 persen), Partai Persatuan Pembangunan (2,7 persen), Gerindra (2,4 persen), Partai Amanat Nasional (2,3 persen), dan Hanura (1,2 persen).
Sebagai bahan perbandingan, lihatlah hasil Pemilu 2009 berikut ini. Partai Demokrat mendapatkan 20,85 persen, Golkar 14,45 persen, PDIP 14 persen, PKS 7,88 persen, PAN 6 persen, PPP 5,32 persen, PKB 4,94 persen, Gerindra 4,4 persen dan Hanura 3,77 persen.
Melihat hal ini, Dodi menengarai yang sedang terjadi adalah parpol dijauhi masyarakat. "Mungkin yang terjadi itu meningkatnya ketidakpercayaan dan kekecewaan publik terhadap politik dan parpol secara keseluruhan, bukan hanya sekadar kekecewaan terhadap pemerintah atau Presiden dan Wakil Presiden semata," kata Dodi.
Sementara itu, salah satu Ketua Partai Amanat Nasional, Bima Arya Sugiarto, menyatakan hasil survei yang memperlihatkan Gerindra menyalip partainya masih dalam batas margin of error. Fenomena penurunan elektabilitas PAN, kata Bima, merupakan ekspresi ketidakpuasan pada pemerintah sendiri.
"Dan itu wajarlah terjadi di tahun pertama karena ekspektasi publik yang tinggi di awal pemerintahan," kata mantan Direktur Eksekutif Charta Politika, sebuah konsultan politik itu.
Sementara Partai Kebangkitan Bangsa, melalui Sekretaris Jenderal Imam Nahrowi, kaget dengan hasil survei ini. Kaget karena di tengah guncangan konflik internal, PKB masih bisa mempertahankan basis suaranya.
"Hasil survei dan analisa LSI itu kami anggap kritik sekaligus penyemangat bagi PKB. Insya Allah, kami optimistis ada titik cerah bagi PKB di masa depan," kata Imam.
Lonceng Kematian Partai
Namun fenomena anjloknya suara sejumlah partai ini, menurut peneliti senior Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi, menjadi lonceng penanda kematian. Jika parliamentary threshold 5 persen jadi diterapkan, hanya lima atau enam partai yang bisa duduk di DPR periode 2014-2019 nanti.
Semuanya itu menjadi resiko partai-partai yang mendukung pemerintahan SBY yang sudah tidak populer, maka akan kehilangan dukungan politik, karena menurunnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. mhn.