Dalam konteks inilah Nashiruddin Al-Bani berusaha memberikan “perlawanan” terhadap gerakan as-sahwah” dengan mendeklarasikan kembali pentingnya memulai gerakan pemurnian Islam secara lebih radikal. Mereka mengelompokkan diri dalam al-Jamaa al-Salafiyya al-Muhtasiba (JSM) yang dipimpin oleh Nasr al-Din al-Albani di Madinah. Kelompok salafi ini menolak semua aliran fiqih dalam Islam. Bagi kelompok salafi, aliran fiqih adalah buah pemikiran manusia, karena itu jika ingin, beribadah dengan benar, maka harus kembali pada Qur’an dan sunnah an sich.
Karena sikap ini, salafi menjadi gerakan yang sangat konservatif, puritan dalam gaya hidup dan belajar agama secara informal di masjid (halaqoh) yang bukan berbasis wahabi dan universitas yang bukan basis as-sahwah al-Islamiyah. Dengan kata lain, perhatian salafi lebih diutamakan pada hal-hal yang bersifat keimanan individual, moral dan praktek ritual. Adapun masalah-masalah sosial, budaya dan isu politik mereka kurang memberi perhatian yang kuat. Pada tahun 1980-an itu pula kelompok ini telah menyebar ke Kuwait, Yaman, dan utara Saudi.
Akan tetapi, as-sahwah dan ulama wahabi kembali bersatu dalam isu jihad Afganistan. Pada awal dekade 1980-an itu, ketika Sovyet menginvasi Afgan, hampir seluruh ulama sepakat untuk mendukung Afgan secara konkret dengan mem ”fardlu ain” kan. Atas kesepakatan ulama ini pula, Abdullah Azzam berangkat ke Afgan.
Dukungan terhadap Afgan, ternyata bersesuian dengan kepentingan internasional Arab Saudi. Keterlibatan Iran dalam konflik Afganistan telah dianggap sebagai ancaman serius bagi hegemoni tidak langsung Arab Saudi dalam dunia Muslim. Bagaimanapun keterlibatan Iran dianggap manifestasi kepentingan mengekspor pandangan syiah (pasca revolusi Iran) dalam dunia muslim lainnya. Sesuatu yang akan mengancam hegemoni Arab Saudi. Karena itulah, Saudi berkepentingan untuk memberikan “perlawanan” politik terhadap sikap Iran dengan berusaha membantu Afgan secara material dan tenaga jihad.
Pada masa perang Afgan, assahwah mengalami perkembangan yang sangat penting. Kelompok ini semakin mendekatkan diri pada pemikiran Sayyid Qutub guna memompa semangat jihad. Lahirlah kemudian penyerbukan gagasan antara pemikiran Ikhwanul Muslimin (Sayyid Qutub) dengan pemikiran wahabi. Perkawinan gagasan ini kemudian melahirkan paham salafi jihadi.