Krisis politik dalam negeri Arab Saudi tampaknya menjadi titik krusial bagi perkembangan gerakan wahabi/salafi. Dominasi wahabi/salafy mulai dipertanyakan oleh gerakan Al-sahwa al-Islamiyyah (Kebangkitan Islam) yang saat itu mulai berkembang di sejumlah universitas Arab Saudi.
Akar-akar gerakan ini dapat ditelusuri dari tahun 1960-an ketika pemerintah Saudi membuka peluang bagi para aktifis Islam untuk tinggal di Saudi. Para aktivis Islam yang melarikan diri ke Saudi kebanyakan adalah para aktivis Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Syria. Pemerintah menampung mereka untuk mengelola berbagai lembaga pendidikan di Arab Saudi yang saat itu kekurangan tenaga pengajar. Sikap ini sekaligus sebagai strategi “perlawanan” Arab Saudi” terhadap kelompok Gamal Abdul Naser di Mesir dan partai Baath di Irak.
Pada mulanya aktivis Ihwanul Muslimin yang mengajar di universitas Arab Saudi memang tidak menunjukkan tanda perlawanan terhadap kerajaan. Mereka satu pemikiran dengan paham wahabi terutama dalam hal ibadah dan tauhid. Namun, perhatian dalam dunia politik (sikap kritis terhadap penguasa) yang dimiliki oleh akitivis Ihwan, adalah titik awal perbedaan mereka dengan ulama-ulama wahabi.
Hal lain yang membedakan kalangan as-sahwah al-Islamiyah dengan Wahabi, kalangan as-sahwah al-Islamiyah sangat familiar dengan peralatan modern saat itu, seperti menggunakan tape recorder, radio, di mana saat itu masih diperdebatkan penggunaannya.
Simpang jalan Wahabi dengan as-Sahwah al-Islamiyah mulai terasa saat Juhayman al-Utaybi pada tahun 1979 mengambil alih Masjidil Haram di Mekkah. Kendati gerakan ini mudah ditumpas, namun Juhayman terhadap gaya hidup Barat (sekularisasi) dan penolakannya terhadap politik Arab Saudi yang pro Amerika Serikat secara perlahan menimbulkan simpati terutama di Universitas Islam Madinah.
Menyadari akar gerakan di kampus, maka raja kemudian berusaha menekan mereka. Cara yang ditempuh, salah satu di antaranya, adalah memperkuat posisi ulama wahabi. Hal ini dimaksudkan agar lembaga keulamaan wahabi, akan mampu mengkooptasi kalangan as-sahwah al-Islamiyah. Usaha ini tentu saja tidak mudah mengingat pengaruh Ikhwan sudah cukup kuat di kampus. Cara lain adalah mengganti guru-guru di universitas. Mereka yang berpaham Ikhwan segera diganti dengan yang berpandangan wahabi/salafi.
Sikap pemerintah tersebut tampaknya disambut antusias oleh kalangan ulama Wahabi. Tampaknya, ulama Wahabi juga merasakan bahwa gerakan as-Sahwah dianggap telah melenceng. Pasalnya, sikap kritisisme yang artikulatif terhadap penguasa adalah sesuatu “terlarang” dalam paham wahabi. Apalagi mereka mengadopsi gagasan Sayyid Qutub yang dianggap ulama Wahabi sebagai ahlul Bid’ah.