Menjelang vonis bagi Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, media nasional kian marak membicarakan pribadi beliau. Namun ditengah pemberitaan itu, sosok Ustadz Abu digambarkan sangat menyeramkan. Situasi itu semakin parah dengan nuansa penuh pengawasan tiap kali Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mendatangi persidangan.
Sebutan teroris pun kian akrab kita dengar selama proses persidangan. Padahal ditengah itu semua, sosok Ustadz Abu adalah pribadi yang tegar, sederhana, lurus, bahkan sangat lemah lembut.
Sedari kecil Ustadz Abu sudah hidup mandiri. Keterbatasan kedua orang tuanya dalam segi ekonomi dan fisik, tidak menghalanginya untuk tetap tegar di jalan Allah dan memacu diri menuntut ilmu sebagai insan bertauhid. Ya meski harus bersepeda sejauh 26 KM.
Lahir di Desa Pekunden, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang Jawa Timur, sebuah desa di pingiran Kabupaten Jombang-Jawa Timur. Kelahirannya di Jombang disambut sayup-sayup senandung takbir yang terdengar di sudut-sudut desa yang didengungkan anak-anak melalui surau-surau tua di sekitar rumahnya.
Senandung takbir perayaan peringatan keteladanan pengorbanan Bapak Tauhid, Ibrahim ‘alaihissalam yang hendak menyembelih putranya. Ia terlahir pada tanggal 12 Dzulhijjah 1359, dua hari setelah Hari Raya Idul Adha.
Gemuruh takbir yang menggetarkan hati beriringan dengan gemuruh bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya untuk keluar dari penjajahan tentara kafir Belanda dalam suasana serba kekurangan dan keprihatinan.
Tanggal kelahirannya bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1938. Raut muka syukur dan linangan air mata syukur kedua orang tuanya mengiringi kelahiran sosok Abu Bakar Ba’asyir yang diharapkan meneladani pengorbanan Ibrahim dan semangat patriotisme seorang pejuang dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan keislaman. Ia terlahir bersama tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.
Orang tua Abu Bakar Ba’asyir bukanlah seorang yang kaya raya umumnya kebanyakan warga masyarakat keturunan Arab lainnya. Namun, kecintaan terhadap Islam dan ketundukan orang tuanya pada Allah-lah yang menjadikan Abu bakar kecil ini mampu bertahan. Darah keturunan Hadramaut Yaman mengalir deras dalam dirinya. Ayahnya bernama Abud bin Ahmad dari keluarga Bamu’alim Ba’asyir yang membuat Abu Bakar menyandang marga Ba’asyir di belakang nama aslinya.
Kenangan indah bersama sang ayah tak banyak ia rasakan dan ia nikmati. Saat usia 7 tahun, ayahnya harus meninggalkan tawa riang Abu Bakar kecil menuju keharibaan Ilahi. Ayahnya meninggal dunia. Ia menjadi yatim di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang masih kacau meskipun telah memperoleh kemerdekaannya.
Di tengah carut marutnya kehidupan bangsa Indonesia, ibunya yang masih buta huruf latin aksara Indonesia mengasuh sendiri Abu Bakar kecil. Ibunya bernama Halimah yang lahir di Indonesia walaupun masih juga berketurunan Yaman dari keluarga Bazargan.
Demi melanjutkan amanat agama dan suaminya, sang Bunda terus menanamkan nilai-nilai keislaman demi kebahagiaan sang putra kelak. Ibundanya yang pandai membaca al-Quran dan seorang muslimah taat beragama selalu mendampingi pendidikan agama sang anak di rumah meskipun Abu Bakar kecil juga tak pernah absen menghadiri pendidikan agama di mushalla kampung tempat tinggalnya.
Tak ingin membiarkan anaknya tertinggal dalam kebodohan, orang tuanya memasukkan Abu Bakar kecil untuk menempuh pendidikan pertamanya di sebuah Madrasah Ibtida’iyah (Sekolah Islam setingkat SD). Namun, dikarenakan situasi konflik revolusi bangsa Indonesia melawan Belanda pada saat itu, sekolahnya harus tertunda dan mengalami jeda. Baru kemudian setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia dipindahkan ke Sekolah Rakyat (Sekolah umum sederajat SD saat ini).
Selama menjadi siswa di madrasah, Abu Bakar kecil sempat ikut kegiatan gerakan Kepanduan Islam Indonesia (pada masa orde lama yang kemudian difusikan dalam Gerakan Pramuka). Untuk menutup kekurangan sang anak dalam ilmu agama, setiap malamnya, Abu Bakar kecil belajar mengaji dan ilmu agama di mushalla desa tempat tinggalnya. Selain kegiatannya di mushalla, sang bunda masih terus mendampingi langsung pendidikan Abu Bakar kecil di rumah.
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR), pendidikannya berlanjut ke jenjang sekolah menengah. Ia bersekolah di sebuah SMP Negeri di kota Jombang yang berjarak 13 Km dari rumah tempat tinggalnya. Setiap hari, perjalanan sejauh minimal 26 Km ia tempuh dengan sepeda.
Semasa SMP ini, Abu Bakar aktif mengikuti kegiatan berorganisasi dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) ranting Mojoagung disamping masih menjadi anggota Gerakan Pramuka.
Menginjak masa remaja setelah merampungkan sekolah di SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Saat itu, ia masuk SMA Negeri Surabaya. Kondisi perekonomian Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan merata di seluruh lapisan masyarakat membuat pendidikannya di SMA hanya mampu bertahan selama 1 tahun. Kegiatan berorganisasinya pun juga terpaksa harus terhenti. Selanjutnya, ia memutuskan hijrah ke Solo untuk membantu kakaknya yang sedang mengembangkan sebuah perusahaan sarung tenun di Kota Solo.
Hingga pada tahun 1959 M, atas dorongan dan bantuan kedua kakaknya, Salim Ba’asyir dan Ahmad Ba’asyir, ia mendaftar sebagai santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, sebuah Pondok Pesantren yang terbilang terbaik dan termaju di Indonesia.
Atas berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia berhasil menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Di sini, keaktifan berorganisasinya kembali tersalurkan dalam wadah Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Gontor. Impiannya melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti membuatnya serasa melihat pelita di tengah buta kegelapan malam.
Empat tahun menjadi santri pondok pesantren Darussalam Gontor, dengan rahmat Allah, ia berhasil lulus dari kelas Mualimin pada tahun 1963 M. Semangatnya untuk menempuh pendidikan masih membara di benaknya sehingga (masih atas bantuan kakaknya), ia melanjutkan studinya di Universitas Al Irsyad jurusan Dakwah di kota Solo selama kurang lebih 3 tahun.
Selama menjadi mahasiswa, ia aktif dalam beberapa organisasi pemuda. Ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Di HMI, dia pernah mendapatkan amanah sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) -sebuah lembaga semi otonom HMI- cabang Solo di masa Ir. Imaduddin sebagai Ketua Umumnya.
Di organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Abu Bakar Ba’syir pernah mendapatkan amanat dakwah sebagai Ketua pada tahun 1961. Selain itu, di dalam organisasi Pemuda Al Irsyad, ia menjadi sekretaris cabang Solo.
Menginjak usia dewasa, panggilan hati untuk menikah mengarahkannya untuk menyunting seorang muslimah bernama Aisyah binti Abdurrahman Baraja’. Sejak saat itu, keberadaan sang istri selalu menyertai perjuangan dakwahnya. Kesetiaan sang istri tak hanya dibuktikan dengan kata mutiara dan hiasan pujian semata. Namun, keberadaan sang istri, Aisyah Baraja’, dalam perjuangan dakwah terwujud dalam tindakan nyata dan fakta.
Dari rahim istrinya, keduanya memiliki tiga orang anak yang saat ini telah menikah dan masih hidup semuanya. Tiga anaknya terdiri atas 1 orang putri dan 2 orang putra. Mereka adalah Zulfah, Rosyid Ridho dan Abdul Rohim. Bersambung. (pz/triirawan/risalahjihad)