Sejak pertama kali penjajah kolonial mendarat di Nusantara, umat Islam telah melakukan perlawanan dengan gagah berani guna mengusir imperialis Barat tersebut yang datang dengan tiga misi: Merampok kekayaan negeri kaya raya ini (Golden), Memperluas imperium mereka (Glorious), dan Menyebarkan salib (Gospel). Islam-lah agama perlawanan menentang kezaliman Salib Barat. Sebab itu, adalah fakta sejarah bahwa umat Islam-lah yang berada di garda terdepan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Namun realita sejarah ini berusaha untuk digelapkan oleh kaum sekular dan kaum kufar sejak dulu hingga sekarang.
“Tonggak pertama pengkhianatan yang dilakukan elit negara, dalam hal ini Soekarno Hatta dan tokoh-tokoh sekuler lainnya terhadap umat Islam terjadi pada hari Kamis malam, 16 Agustus 1945,” ujar (alm) KH. Firdaus AN kepada Eramuslim di tahun 1999 saat bertemu di kediaman beliau di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat.
Tokoh Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PII), Abdul Qadir Djaelani, dalam bukunya “Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia” (1996) juga menceritakan hal ini. Seperti yang telah diketahui bersama, rakyat Indonesia sekarang hanya mengetahui jika teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat. Padahal, seperti diakui oleh Mohammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada saat proklamasi itu adalah naskah Piagam Jakarta yang dibuat pada 22 Juni 1945. Namun pada malam 16 Agustus 1945, di rumah Laksamana Maeda jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta, bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni dan Sayuti Melik menggelar rapat dadakan dan menulis teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan dibacakan keesokan paginya.
Mengapa bukan Piagam Jakarta yang dibacakan sebagai teks proklamasi? Alasannya sangat naif. Bung Hatta di dalam Memoirnya menulis, “(Malam itu) Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta.” Malam itu, lanjut Hatta, seluruh anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa orang pemimpin pergerakan, dan para anggota Cuo Sangi In telah hadir di rumah Maeda. “Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang-orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.”
Seperti pengakuan Hatta, begitu banyak tokoh yang hadir. Namun terlalu naif jika tidak ada seorang pun yang mengantungi naskah Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika hal ini benar, walau tidak masuk akal, bukankah proklamasi baru akan dilakukan esok harinya? Berarti, jika memang “tidak ada apa-apanya” maka sebenarnya sangatlah mudah untuk mengambil kembali naskah Piagam Jakarta yang ada di rumah Soekarno atau rumah Hatta yang dekat letaknya dengan kediaman Maeda.
Jika pun proklamasi harus dilakukan malam itu, maka rumah Hatta yang letaknya cuma satu kilometer dari rumah Maeda pun bisa dijangkau. Bermobil ke rumah Hatta tidak sampai memakan waktu lima menit. Jika mereka semua memang punya niat baik dan berpegang pada kesepakatan awal, maka mengambil Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi adalah hal yang sangat mudah.
Abdul Qadir Djaelani menyatakan jika Piagam Jakarta sesungguhnya sengaja disingkirkan dalam peristiwa malam itu. Biang keladinya menurut Kang Jel—demikian sapaan akrab Abdul Qadir Djaelani, adalah kaum Nasionalis Sekuler, termasuk Soekarno-Hatta di dalamnya. “Alasannya sangat strategis. Sebab jika Piagam Jakarta dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, maka secara historis yuridis negara Indonesia merdeka terikat dengan Piagam Jakarta,” tulis Kang Jel.
Sejarah telah mencatat, teks proklamasi yang dibacakan ternyata naskah yang ditulis terburu-buru, dan tanpa persiapan. Keesokan harinya, Sabtu, 18 Agustus 1945, sebuah konspirasi yang juga aneh malah menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Dalam tempo 24 jam, Soekarno-Hatta telah melakukan dua kali “tusukan” pada umat Islam. Dua tragedi yang menyakitkan tokoh-tokoh Islam dan juga umat Islam secara keseluruhan.
“Tusukan ketiga” yang dilakukan Soekarno adalah terhadap Muslim Aceh. Dari seluruh daerah di Nusantara, perlawanan Muslim Aceh merupakan perlawanan terhebat dan terdahsyat yang pernah dihadapi kolonialis Belanda saat hendak menguasai seluruh wilayah Nusantara. Nanggroe Aceh Darussalam adalah Kerajaan Islam Besar yang telah berdaulat berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Bahkan wilayah ini bersama dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jazirah Al-Mulk (Maluku) masuk di dalam wilayah perlindungan Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah. Berabad-abad sebelum UUD 1945 lahir, Aceh telah memiliki Qanun Meukuta Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap sehingga kerajaan-kerajaan Islam tetangga pun mengcopy-pastenya seperti yang dilakukan Kerajaan Islam Brunei Darussalam. Qanun Meukuta alam ini sangat lengkap dan detil, jauh lengkap ketimbang UUD 1945 bahkan yang sudah “dibongkar” (amandemen) seperti sekarang ini.(bersambung/rd)