Dalam sebuah pertemuan di salah satu lantai atas gedung pencakar langit di kawasan segitiga emas Kuningan, Jakarta Selatan, beberapa hari lalu, seorang teman dengan kesal berkata jika umat Islam saat ini benar-benar tidak berdaya menghadapi perang informasi, di mana musuh—dalam hal ini kaum kafirin yang dimotori Zionis, telah begitu sukses menempelkan stigma teroris pada umat Islam.
“Coba lihat, kita tidak punya media massa yang besar yang sanggup menandingi mereka. Kita tidak punya stasiun teve, tidak punya jaringan suratkabar yang kuat, tidak punya majalah yang mendunia, kita benar-benar lumpuh!” ujarnya berapi-api.
Mantan presiden direktur sebuah perusahaan internasional yang berkedudukan di Jakarta ini dengan wajah yang dipenuhi kegeraman melanjutkan, “Sekarang ini, semua media massa elektronik, kabel, satelit, dan sebagainya dikuasai Yahudi. Kita mana?”
Aku tersenyum kecil dan bilang jika umat Islam juga banyak yang memiliki media massa termasuk stasiun teve. Di negeri ini, hampir semua stasiun teve, juga jaringan media massa cetak seperti suratkabar, dimiliki oleh orang Islam.
Sahabatku itu tertawa sedih, “Ya, mereka Islam cuma di KTP doang. Tapi kelakuannya Zionis semua…”
Kali ini senyum aku jadi lebih lebar. Aku tidak mau mendebat sahabatku ini. Dia memang kerap menggeneralisir, namun pergaulannya sudah mendunia, dan dia tahu betul siapa-siapa yang menjadi kaki tangan Zionis di negeri ini. Dia kemudian secara panjang lebar bercerita tentang perbedaan antara orang-orang Yahudi yang kaya raya dengan orang-orang Islam yang kaya raya.
“Setelah saya menceritakan semua ini, kamu akan bisa mengerti mengapa kegiatan misi mereka bisa melanglang buana ke seluruh pelosok dunia, ke tempat terpencil sekali pun, mengapa mereka bisa mendanai jutaan kegiatan riset ke seluruh tempat di dunia, mengapa dananya selah tak terbatas, dan mengapa orang-orang Islam di dunia tidak mampu melakukan itu semua sekarang ini,” ujarnya bersemangat. Aku hanya tersenyum sembari mengangguk pelan. Siap mendengarkan apa yang hendak dia ceritakan.
Keluarga Rothschild
Sir Meyer Amschell Rothschild merupakan sesepuh gerakan Zionis Yahudi Dunia. Dialah pendiri dari Dinasti Rothschild yang sepanjang sejarah dunia bergerak di belakang layar namun amat sangat berkuasa atas segala sesuatunya.
Rothschild adalah sesepuh Zionis Yahudi yang juga sesepuh dari kelompok Yahudi Talmudian, di mana ritual-ritual sihir warisan Firaun bernama Kabbalah dipraktekkan sampai sekarang. Rothschild dalam bahasa Jerman mempunyai arti sebagai “Tameng Merah”. Bahasa Inggrisnya “Red Shield”. Dinasti Rothschild yang melegenda dan sangat berkuasa ini berawal dari sejarah Eropa di abad ke-18, dengan kelahiran seorang bayi Yahudi Bavaria (Jerman) yang diberi nama Mayer Amshell Bauer.
Mayer Amshell Bauer lahir tahun 1743 di sebuah perkampungan Yahudi di Frankfurt, Bavaria. Ayahnya bernama Moses Amschell Bauer, berprofesi sebagai lintah darat (rentenir) dan tukang emas yang berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari kota yang satu ke kota lainnya. Bakat Moses sebagai rentenir kelak akan diteruskan dan dikembangkan oleh anak-cucunya.
Kelahiran Mayer membuat Moses menghentikan bisnis ‘nomaden’nya dan menetap di sebuah rumah agak besar dipersimpangan Judenstrasse (Jalan Yahudi) kota Frankfurt. Di rumah itu, Moses membuka usaha simpan-pinjam uangnya. Di pintu masuk kedai renten-nya, Moses menggantungkan sebuah Tameng Merah sebagai merk dagangnya: Rothschild.
Anak pertamanya ini, Mayer Amshell, menunjukkan kecerdasan yang tinggi. Dengan tekun Moses mengajari Mayer segala pengetahuan tentang bisnis pinjam-meminjam uang. Moses juga sering menceritakan pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari berbagai sumber. Moses sebenarnya ingin menjadikan Mayer sebagai pendeta Yahudi. Namun ajal keburu menjemputnya sebelum sang anak tumbuh dewasa.
Sepeninggal ayahnya, Mayer sempat meneruskan usaha itu di rumah. Namun tidak lama kemudian Mayer ingin belajar lebih mendalam tentang bisnis uang. Akhirnya ia bekerja di sebuah bank milik keluarga Oppenheimer di Hanover. Di bank ini, Mayer dengan cepat menyerap semua aspek bisnis sistem perbankan modern. Kariernya pun melesat, bahkan sang pemilik bank yang terkesan dengan Mayer menjadikannya sebagai mitra muda dalam kepemilikian bank tersebut.
Setelah merasa cukup banyak menimba ilmu tentang bisnis perbankan, Mayer kembali ke Frankfurt untuk meneruskan usaha ayahnya yang sempat dilepaskannya untuk beberapa waktu. Mayer telah berketetapan hati, bisnis uang akan dijadikan sebagai bisnis inti keluarga ini.
Ia akan mendidik anak-anaknya kelak dengan segala pengetahuan tentang bisnis penting tersebut dan menjadikannya keluarga besar penguasa bisnis perbankan Eropa dan juga dunia. Salah satu langkah yang diambil Mayer adalah dengan mengganti nama keluarga ‘Bauer’ yang dalam bahasa Jerman berarti ‘Petani’ dengan merk dagang usahanya, yakni ‘Tameng Merah’ (Rothschild). Mayer sendiri memakai gelar Rothschild I.
Berkat kepiawaiannya, usaha rumahan ini berkembang pesat. Rotshchild I mulai melobi kalangan istana. Orang yang pertama ia dekati adalah Jenderal von Estorff, bekas salah satu pimpinannya ketika masih bekerja di Oppenheimer Bank di Hanover. Rothschild I mengetahui benar, sang jenderal memiliki hobi mengumpulkan koin-koin kuno dan langka. Dengan jeli Rothschild memanfaatkan celah ini untuk bisa dekat dengan sang jenderal. Cara ini kelak akan menjadi salah satu dasar lobi bisnis dalam ilmu marketing dunia yang juga disinggung oleh penulis-penulis motivasi dunia seperti Napolen Hill dan D.J. Schwartz dalam membina hubungan dengan orang lain.
Untuk menambah perbendaharaan koin-koin kuno dan langka, Rotshchild menghubungi sesama rekannya, orang Yahudi, yang dalam waktu singkat berhasil mengumpulkan benda-benda tersebut. Sambil membawa barang yang sangat diminati Jenderal von Estorff, Rothschild I menemui sang jenderal di rumahnya dan menawarkan semua koin itu dengan harga sangat murah.
Jelas, kedatangan Rotshchild disambut gembira sang jenderal. Bukan itu saja, rekan-rekan dan teman bisnis sang jenderal pun tertarik dengan Rothschild dan kemudian jadilah Rotshchild diterima sepenuh hati dalam lingkaran pertemanan dengan Jenderal von Estorff.
Suatu hari, tanpa disangka-sangka, Rothschild I dipertemukan oleh Jenderal von Estorff kepada Pangeran Wilhelm secara pribadi. Pangeran ternyata memiliki hobi yang sama dengan sang jenderal.
Wilhelm membeli banyak medali dan koin langka dari Rotshchild dengan harga yang teramat murah. Inilah kali pertamanya seorang Rotshchild bertransaksi langsung secara pribadi dengan seorang kepala negara.
Dari perkenalannya dengan Wilhelm, terbukalah akses Rothschild untuk membuat jaringan dengan para pangeran lainnya. Untuk membuat pertemanan bisnis menjadi pertemanan pribadi, Rotshchild menulis banyak surat kepada para pangeran yang berisi puji-pujian dan penghormatan yang begitu tinggi atas kebangsawanan mereka.
Rothschild juga royal memberikan hadiah dalam berbagai kesempatan yang ada. Rothschild kemudian memohon agar mereka memberi perlindungan kepadanya. Pada tanggal 21 September 1769, upayanya membuahkan hasil. Pangeran Wilhelm dengan senang hati memberikan restu atas kedainya.
Rothschild pun memasang lambang principalitas Hess-Hanau di depan kedainya sebagai lambang restu dan perlindungan Sang Pangeran. Lambang itu bertuliskan huruf emas dengan kalimat, “M.A.Rothschild. Dengan limpahan karunia ditunjuk sebagai abdi istana dari Yang Mulia Pangeran Wilhelm von Hanau.” [bersambung/rz]