Beliau melanjutkan, “Rumah dan kubah turut terbakar pada saat terjadi kebakaran Masjid Nabawi tahun 886 H. Lalu pada zaman Sultan Qaytabai tahun 887 H, kubahnya diperbarui. Dan dibuat pondasi yang kuat di tanah Masjid Nabawi, dibangun dengan meninggikan batanya. Pada tahun 1253 H Sultan Abdul Hamid Al-Utsmani mengeluarkan perintah untuk mengecat kubah dengan warna hijau. Beliaulah yang pertama kali mengecat kubah dengan warna hijau. Kemudian cat tersebut terus menerus diperbarui setiap kali dibutuhkan, sampai hari ini. Dinamakan kubah hijau setelah dicat hijau. Dahulu dikenal dengan Kubah Putih, Fayha dan Kubah Biru.” (Fushul min Tarikh Madinah al-Munawarah, hal. 127-128)
Keberadaan kubah ini tidak pernah dikenal di zaman sahabat, tabiin maupun tabi tabiin, juga tidak pernah dikenal di zaman para imam mazhab, para pencatat hadis. Yang menarik, tidak kita jumpai usulan dari mereka untuk membuat kubah itu. Artinya mereka memahami, kubah itu memang tidak ada syariatnya dalam Islam karena itu, aneh ketika ada orang yang menjadikan keberadaan kubah ini sebagai dalil pembenar membuat cungkup di atas kuburan.
Diantaranya as-Shanani penulis kitab Subulus Salam , beliau mengikari keberadaan kubah ini sebagai dalil. Beliau mengatakan, “Jika anda mengatakan, “Itu kuburan Rasul shallallahu alaihi wa sallam dikasih kubah besar, menghabiskan banyak dana.” Jawaban saya, “Ini kebodohan yang berlebihan dengan kondisi yang sejatinya. Kubah ini, tidak dibangun oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga para sahabat, tabiin, tabi tabiin, maupun para ulama umat ini. Kubah yang dibangun di atas makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam merupakan proyek sebagian raja mesir belakangan, yaitu Qalawun as-Shalihi, yang dikenal dengan Raja al-Manshur, pada tahun 678 H.” (Thathir Itiqad, hlm. 46). Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits/ini]