Siapa Presiden RI yang Memulai Ucapkan Salam Semua Agama?

MUI Jatim mengimbau umat Islam agar tak mengucapkan salam semua agama dalam sambutan di acara resmi. Imbauan itu termaktub dalam dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori.

“Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid’ah, yang tidak pernah ada di masa lalu. Minimal mengandung nilai syubhat (samar kehalalannya) yang patut dihindari,” kata Buchori dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (9/11).

Di tingkat pusat, langkah MUI Jatim yang membuat imbauan itu pun telah memperoleh lampu hijau. Sekjen MUI Anwar Abbas menilai, larangan mengucapkan salam semua agama sudah sesuai dengan ketentuan Alquran dan Hadis. Dalam Islam, kata dia, salam adalah doa yang memiliki dimensi teologis.

“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah, berdoa dan meminta pertolongan kepada selain Allah, maka murka Tuhan pasti akan menimpa diri mereka,” kata Anwar dalam keterangan tertulis, Senin (11/11).

Dalam penelusuran kumparan, salam semua agama merupakan hal yang relatif baru di era reformasi. Ini dapat dilihat berdasarkan naskah pidato tujuh presiden RI yang tersimpan di situs setneg.go.id dan perpusnas.go.id.

Lantas, siapa Presiden RI yang memulai ucapkan salam semua agama?

Sukarno

Pembacaan Proklamasi oleh Sukarno. Foto: Wikimedia Commons.

Pembacaan Proklamasi oleh Sukarno. Foto: Wikimedia Commons.

Ada 14 naskah pidato Presiden Sukarno di situs Perpustakaan Nasional, https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id.

Dalam belasan naskah itu, tak ada salam semua agama seperti yang disinggung MUI Jatim. Di masa itu, salam yang diucapkan Sukarno tampak netral, meski kemudian bertranformasi menjadi lebih Islami.

Di awal era kemerdekaan, Sukarno tak pernah menggunakan salam dari tradisi agama apapun saat memulai pidatonya. Namun hal itu mulai berubah saat Sukarno memasuki tahun 1950-an, hingga akhir masa jabatannya yang selesai pada tahun 1966.

Dalam salah satu pidatonya yang berjudul ‘Lahirnya Pancasila’, Sukarno memulai pidatonya dengan kalimat pembuka ‘Paduka tuan Ketua yang mulia!’. Pidato itu dia sampaikan di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Dalam pidato itu, Sukarno menyampaikan Pancasila sebagai Philosofische Grondslag. Yakni, Pancasila sebagai filsafat, pikiran, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk berdirinya Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.

Di tahun 1957, Sukarno mulai menggunakan kata ‘Assalamualaikum’ dalam pidatonya. Walaupun, ucapan salam itu bukan kata pertama yang dia ucapkan. Kala itu, 18 November 1957, Sukarno menggelar orasi di Lapangan Banteng, Jakarta. Di siang bolong yang panas itu, Sukarno menyampaikan empat alasan Irian Barat harus masuk ke dalam wilayah Indonesia.

“Kepada sudara-saudara yang beragama Islam, saya lebih dahulu menyampaikan salam Islam. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu,” kata Sukarno mengawali isi pidatonya.

Dalam pidato terakhirnya pada 22 Juni 1966, Sukarno juga mengucapkan Assalamualaikum. Kala itu, Sukarno menyinggung tentang dirinya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Mandataris MPR, dan Presiden seumur Hidup.

Soeharto

Soeharto dengan Wiranto di belakangnya. Foto: Reuters.

Soeharto dengan Wiranto di belakangnya. Foto: Reuters.

Lain Sukarno, lain lagi Suharto. Di era Orde Baru itu, Presiden Suharto tercatat memiliki 40 naskah pidato di arsip Perpustakaan Nasional. Menariknya, seluruh naskah itu sama sekali tak berisi kata ‘Assalamualaikum’ atau salam dari agama lainnya.

Kala itu, badan yang bertugas menyusun naskah pidato Soeharto adalah Departemen Penerangan. Salam yang tertulis di naskah isinya lugas saja. Misalnya ‘para hadirin yang berbahagia’.

Pada tahun 1972 misalnya, di hadapan DPR, Soeharto mengawali pidatonya dengan format berikut ini:

Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Rakjat jang saja hormati;

Hadirin jang berbahagia;

Format pembukaan pidato yang tertulis di naskah tak banyak berubah hingga tahun 1998. Meski begitu, kumparan mencatat ada perbedaan antara apa yang tertulis di naskah, dengan apa yang terjadi di dalam rekaman video.

Pada 15 Agustus 1992 misalnya, Soeharto tengah membacakan pidato kenegaraannya di DPR. Dalam rekaman video, tampak bahwa Soeharto mengucapkan Assalamualaikum saat mengawali pidatonya.

Di arsip nasional, naskah pidato tahun 1992 sayangnya tak tersedia. Namun di tahun 1991, 1993 dan seterusnya, kata Assalamualaikum memang tak pernah ada.

Saat Soeharto lengser, salam pembuka yang diucapkan Soeharto adalah Assalamualaikum. Salam itu ia ucapkan pada 21 Mei 1998. Tak ada salam semua agama.

BJ Habibie

Presiden Indonesia BJ Habibie (tengah), ditemani istrinya Ainun, melambaikan tangan ke media pada 26 Mei. Foto: AFP/BARBARA WALTON

Presiden Indonesia BJ Habibie (tengah), ditemani istrinya Ainun, melambaikan tangan ke media pada 26 Mei. Foto: AFP/BARBARA WALTON

Berbeda dengan Soeharto yang naskah pidatonya tak memiliki Assalamualaikum, Presiden BJ Habibie justru memilikinya. Ada dua naskah pidato yang tersimpan di arsip perpustakaan nasional.

Pada tahun 15 Agustus 1998, Habibie menyampaikan pidato kenegaraan untuk pertama kalinya di DPR. Ia banyak menyinggung soal krisis ekonomi dan polisi yang terjadi pada tahun 1998. Habibie memulai pidatonya sebagai beriku:

Saudara Ketua, para Wakil Ketua dan para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang saya hormati;

Para undangan dan hadirin yang terhormat Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air;

Assalanau’alaiknna Wr. Wb.

Beri Komentar