Eramuslim.com – Indonesia saat ini dirundung ancaman proxy war atau perang proksi dari berbagai lini. Ancaman itu ternyata sudah diprediksi jauh sebelum Indonesia memasuki era pembangunan di segala bidang.
Adalah Bapak pendiri bangsa, Soekarno, yang disebut telah meramalkan ancaman perang proksi tersebut. Presiden pertama Republik Indonesia itu sudah mengetahui gelagat ancaman perang yang bakal merongrong meski Indonesia telah merdeka.
Pakar militer dari Universitas Pertahanan Yono Reksodiprojo menyatakan Gerakan Non-Blok yang turut dicetuskan Soekarno pada tahun 1955 merupakan bagian dari strategi Indonesia bersama negara-negara dunia ketiga yang kaya sumber daya alam lainnya, untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri dan terbebas dari cengkeraman asing.
“Gerakan Non-Blok ini upaya menarik diri dari kepentingan Barat dan Timur. Soekarno sudah menerjemahkan bahwa perang masa depan itu it’s all about resources,” kata Yono di Jakarta, Minggu (20/12).
Kecenderungan Indonesia yang kala itu memihak Timur, kata Yono, telah membuat dunia Barat bereaksi. Proxy war akhirnya menjadi pilihan pihak asing untuk cawe-cawe merangsek masuk ke Indonesia.
Proxy war adalah istilah yang merujuk pada konflik di antara dua negara, di mana negara tersebut tidak serta-merta terlibat langsung dalam peperangan karena melibatkan proxy alias wakil atau kaki-tangan.
Proxy war, kata Yono, merupakan bagian dari modus perang asimetris. Berbeda dengan jenis perang konvensional, perang asimetris bersifat irregular dan tidak dibatasi oleh besaran kekuatan tempur atau luasan daerah pertempuran.
“Tendensi perang di masa depan memungkinkan untuk dilakukan secara terselubung, dan mampu menyebabkan kelumpuhan yang mematikan,” kata Yono.
Memanfaatkan pihak ketiga untuk memuluskan kepentingan suatu negara dipandang lebih efektif ketimbang berhadap-hadapan secara diametral.
Indonesia dalam hal ini punya pengalaman dirundung perang proxy ketika dunia Barat, terutama Amerika, tak menghendaki Indonesia jatuh ke blok Komunis.
Penghancuran kelompok kiri di Indonesia pada akhirnya berlangsung masif pada periode 1965-1966, dan secara perlahan namun pasti kekuasaan sipil jatuh ke dalam rezim militer.
Motif perang dan keterlibatan pihak ketiga sebagai boneka atau proxy selalu berkutat pada konflik perebutan sumber daya. Hal itu dipandang telah menempatkan Indonesia di Asia Tenggara sebagai wilayah operasi kepentingan asing untuk mengangkangi sumber daya alam negara.
Ahli komunikasi Universitas Indonesia Irwansyah mengatakan Indonesia mampu menangkis ancaman perang proxy dengan menggunakan strategi yang memanfaatkan celah struktur. Dalam arti lain, penguasaan sumber informasi yang tak dimiliki pihak lain dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mengantisipasi ancaman perang proxy.
“Semakin banyak jaringan yang dimiliki oleh individu atau institusi, maka semakin banyak informasi yang dimilikinya sehingga mampu memengaruhi pihak lain,” ujar Irwansyah.
Memahami esensi isu dunia pada akhirnya menjadi langkah awal mengantisipasi perang proxy. Terkait Indonesia yang telah meratifikasi konvensi internasional yang menguntungkan pihak asing, Irwansyah berpendapat perlu terobosan baru agar negara keluar dari jebakan proxy.
“Kita harus berani melakukan pemutihan terhadap seluruh kesepakatan dan perjanjian internasional yang menguntungkan pihak asing dan kekuatan global,” kata Irwansyah.(ts/cnn)