Eramuslim.com – Lebih dari setengah abad Samarra menjadi ibu kota dan tempat beberapa khalifah Abbasiyah memerintah, namun ujungnya ditinggalkan orang dan nyaris menjadi kota mati dan terlupakan, tak mampu menggantikan Baghdad
KHALIFAH Al-Ma’mun (khalifah ke-7 dari Dinasti Abbasiyah) berhasil mengalahkan saudaranya Al-Amin dalam perebutan kekuasaan atas tahta Abbasiyah, pada 813 M. Berdarah-darah, sampai militer terbelah menjadi dua pihak yang berseteru.
Di saat bersamaan, kaum elit Abbasiyah memihak Al-Amin, yang ternyata kalah. Maka wajah mereka pun berpaling saat tentara pendukung Al-Ma’mun berparade memasuki Baghdad.
Meski sebenarnya Al-Amin punya segala kelayakan sebagai khalifah, namun penguasa ini lemah manajemen. Parahnya lagi, kebijakan politiknya dicampuri ratu dan para selir.
Di hari kedua penobatan, secara konyol Al-Amin justru menyuruh membangun lapangan sepakbola, tepat di samping istana. Lalu ia tenggelam dalam aneka permainan dan olahraga.
Fisik khalifah ini memang kuat luar biasa. Seorang diri, ia pernah membunuh seekor singa dengan tangan kosong.
Tentu saja tidak ada yang benar-benar diuntungkan dalam persengketaan ini. Saat konflik berakhir, struktur dan personel militer kedua belah pihak sama-sama “cacat” permanen.
Kesetiaan para panglima dan prajurit pendukung khalifah yang kalah jelas sangat patut diragukan. Rakyat pun menderita. Terlebih, tidak lama kemudian sang khalifah baru, Al-Ma’mun, terbukti mengeluarkan perintah kontroversial: al-mihnah, yang secara harfiah berarti “pengujian”.
Al-Ma’mun sebetulnya termasuk penguasa yang luar biasa. Ilmunya, fisiknya, ibadahnya, kecerdasannya, keteguhannya, semua mengagumkan.
Tapi ia terjerat para penasehatnya dan terjerumus dalam spekulasi filsafat, yang berakhir dengan pandangan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Tidak cukup sampai di situ, ia menginstruksikan agar para ulama diuji pandangannya dalam topik ini.
Al-mihnah pun digelar, yang melibas para ulama. Banyak yang menyerah atau lari bersembunyi.
Imam Ahmad menolak tunduk, dan punggungnya harus menerima cambukan setiap hari dalam penjara, yang kemudian dilunakkan menjadi tahanan rumah.
Setelah 20 tahun memerintah, Al-Ma’mun wafat mendadak pada 833 M, semasa memimpin pasukannya berjihad melawan Romawi. Sebelum ruhnya melayang ke haribaan Allah, ia sempat mengangkat saudaranya Al-Mu’tashim sebagai pengganti.
Di hadapan para panglima dan anak-anaknya yang hadir, khalifah baru pun dibai’at di medan perang. Pilihan Al-Ma’mun kepada saudaranya, bukan anaknya, tampaknya dilatari faktor ketidakstabilan kondisi politik dan militer di Baghdad.
Sosok Al-Mu’tashim memang dikenal cakap dan cemerlang. Lebih layak memimpin dalam situasi sulit.
Namun, saat Al-Mu’tashim kembali ke ibu kota, ia merasakan penolakan dari kaum elit maupun masyarakat. Di sisi lain, kekuatan militer yang ia warisi dari saudaranya masih dalam kondisi “cacat” atau “sakit”, sisa-sisa konflik terdahulu.
Ibu Kota Baru, Samarra
Demi mengokohkan posisi, ia pun merekrut puluhan ribu personel baru dari tepi-tepi wilayah Abbasiyah. Anak-anak kecil dari suku-suku Turki dan lain-lain dibawa ke ibu kota sebagai budak.
Mereka diislamkan, lalu dididik dalam barak-barak militer untuk menjadi prajurit yang loyal dan tangguh. Mereka memang budak milik khalifah, namun nasibnya baik dan kehidupannya terjamin.
Kelak, para jenderal mereka bahkan tampil berkuasa dan mampu mengkudeta penguasa yang tidak mereka sukai.
Hanya saja, tak lama kemudian Baghdad menjadi penuh sesak dengan puluhan ribu tentara baru dari suku-suku asing ini. Masyarakat dan kaum elit bergolak, membuat Al-Mu’tashim gerah.
Luka lama sejak zaman Al-Ma’mun menganga kembali. Dengan hati masygul, khalifah pun memutuskan membangun ibu kota baru, Samarra, ratusan kilometer jauhnya dari Baghdad, pada 836 M.
Ia merasa ditolak dan setiap hari di Baghdad hanya menambah kesempitan dada. Konon, ibu kota baru ini teramat indah.
Ibu kota ini dibangun dengan dana tak terbatas dan dihias secantik bidadari. Semua teknologi terkini dan desain terbaik hadir di dalamnya, agar layak menjadi singgasana yang nyaman bagi khalifah yang merasa ditolak rakyat dan pemuka kaumnya sendiri.
Samarra, sebenarnya pemukiman kuno, sudah dihuni sejak beberapa milenium sebelum masehi. Sejak zaman Harun Ar-Rasyid juga sudah mulai dilirik, namun dalam skala lebih kecil.
Al-Mu’tashim hanya membangunnya agar lebih anggun. Konon, sedemikian cantiknya ibu kota baru ini sampai namanya dikatakan sebagai singkatan dari Sarra Man Ra’a, artinya “pasti senang siapa pun yang melihatnya.”
Nama Samarra sendiri (atau lafal-lafal purbanya) kemungkinan sudah dipakai sejak zaman kuno.
Memang benar, lebih dari setengah abad kota indah ini menjadi ibu kota dan tempat beberapa khalifah Abbasiyah memerintah. Hanya saja, tak ada yang bisa menggantikan Baghdad.
Bagai kekasih dari cinta pertama, ibu kota lama tetaplah yang terfavorit. Baghdad terus tumbuh, dan setelah khalifah dan tentara pergi darinya, ia justru bergulir dalam ketenangan ilmu dan adab. Hiruk-pikuk politik dan kekuasaan menjauh 125 km ke utara.
Huru-hara dan Kota Mati
Namun, seiring waktu, Samarra pun bukan tempat yang tenang sebagaimana harapan. Huru-hara terjadi, yang didalangi elit politik dan para jenderal Turki yang dulu menjadi sandaran.
Saat Al-Mutawakkil, pengganti Al-Mu’tashim (yakni setelah kakaknya Al-Watsiq meninggal) memutuskan “berdamai” dengan keadaan, anarki di Samarra dimulai. Ia menghentikan Al-Mihnah dan membebaskan Imam Ahmad.
Tapi para jenderal yang marah membunuhnya pada Desember 861 M, dan menempatkan putranya Al-Muntashir di tahta.
Khalifah baru ini hanya setengah tahun berkuasa, sebelum meninggal dengan sebab yang tidak jelas pada Juni 862 M. Dalam rentang 30 tahun berikutnya Samarra menyaksikan empat penguasa yang naik tahta khilafah, tapi seluruhnya tewas dibunuh dalam konspirasi politik.
Penggantinya, Al-Musta’in, dikudeta oleh jenderalnya dan dibunuh setelah berkuasa 2 tahun 9 bulan. Tiga tahun berikutnya Al-Mu’tazz juga dibunuh dengan cara dijebak dan dikunci dalam kamar mandi uap (sauna) sampai tewas.
Sebelas bulan setelah itu Al-Muhtadi ditikam dengan pisau belatinya sendiri. Penggantinya, Al-Mu’tamid, berkuasa cukup lama, 23 tahun. Namun akhirnya juga terbunuh dengan tragis, diceburkan ke dalam timah panas yang meleleh.
Berbagai pemberontakan internal dan konflik eksternal juga pecah, meski prestasi-prestasi indah juga tercapai. Namun, posisi khalifah yang “dikepung” tentaranya sendiri di ibu kota yang terpisah dan jauh dari dukungan publik langsung, menjadikannya selalu terancam.
Khalifah dan harus pandai-pandai mengambil hati para jenderal, sosok-sosok yang sebenarnya budaknya dan menjadi terhormat berkat jasanya. Politisi dan para bangsawan terombang-ambing dalam konflik kepentingan terus-menerus.
Di ujung cerita, pada 892 M Al-Mu’tadhid yang lelah memutuskan pulang ke pelukan “kekasih pertama” yang dibangun leluhurnya, Baghdad; mengakhiri kisah setengah abad Samarra sebagai ibu kota baru Abbasiyah.
Pelan-pelan ibu kota yang indah ini ditinggalkan orang, hingga nyaris menjadi kota mati dan dilupakan. Mungkin itu pula yang membuat tata kotanya tetap terpelihara sebagaimana aslinya dari masa kejayaannya.
Pada 2007, UNESCO menetapkan Samarra sebagai salah satu Situs Warisan Dunia. Namun kharismanya dalam sejarah tetap tidak pernah bisa mengalahkan Baghdad.
(Hidayatullah)