Kalau melihat kembali Kitabullah yang diturunkan pada 1.400 tahun yang lalu, di mana waktu itu orang-orang belum mengenal perjalanan ke langit, invasi antariksa, perjalanan melewati atmosfer, dan seterusnya, tentu ayat-ayat di atas adalah suatu kemukjizatan ilmiah.
Firman Allah dalam Alquran, “Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, ‘Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir” (Al-Hijr: 14-15).
Inilah yang dikatakan oleh sang astronot, “Sungguh, kami menjadi buta.” Hal ini telah diberitakan Alquran pada 1.400 tahun yang lalu. Bukankah ini bukti nyata (qath’i) bahwa ayat-ayat itu adalah firman Sang Pencipta manusia? Fakta di atas baru diketahui sepuluh tahun (red. beberapa tahun) yang lalu. Ketika manusia telah mengenal atmosfer dan menaklukannya, mengabaikan adanya penguraian cahaya, dan memasuki kegelapan yang sangat kelam, tahulah ia bahwa angkasa di luar sana sangat gelap dan hanya bintang berkilauan yang bisa dilihat.
Allah berfirman, “Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, ‘Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir” (Al-Hijr: 14-15).
Allah berfirman, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan gelap dan terang. Namun orang-orang kafir masih menyekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu.” (Al-An’am: 1).
Kata nur (terang, cahaya) pada ayat di atas berkategori kata tunggal, tidak jamak. Hal ini disebabkan nur bersifat terbatas. Adapun kata zhulumat (gelap) berkategori jamak karena kegelapan terdapat banyak dan tersebar di mana-mana di seluruh jagat raya.
Fakta-fakta di atas baru diketahui manusia pada akhir abad ke-20, sedangkan Alquran telah menyebutkannya pada 1.400 tahun yang lalu. Ini menegaskan betapa tinggi kemukjizatan ilmiah Alquran di bidang astronomi.