Eramuslim.com
Oleh : M. Bagus S. A – Uin Jakarta
A. Pendahuluan
Hadis merupakan sumber kedua didalam al-Adilah al-Ahkam ( Dalil penetapan hukum). Maka tidak heran jika ia sangat dan harus dikaji lebih jauh dan dalam lagi.
Karena sangat penting sekali para ulama dalam menerima hadis, tidak cukup hanya mendengar dari riwayat saja. Mereka melakukan penvarian hadis-hadis ke berbagai sumbernya.
Karena untuk memastikan bahwa hadis tersebut bersumber utama yakni Rasulullah saw. walaupun memang hadis atau perkataan Nabi saw itu belum dituliskan atau dibukukan namun, setidaknya para sahabat memiliki hafalan yang telah diingatnya.
Kemudian berganti ke masa tabiin mulailah penulisan hadis itu bermula walau, masih tergolong sangat baru sehingga susunanya belum beraturan apalagi sistematis.
Setalah masa tersebut kemudian berganti dengan masa tabiu tabiin dimana dimasa ini sering juga dikenal dengan masa ulama-ulama baik dari bidang al-Quran, ilmu pengetahuan dan tentunya muncul ulama-ulama hadis.
Seperti yang diketahui pada masa sekarang ulama hadis tersebut seperti Malik bin Anas (w. 179 H) yang berada di Madinah dengan karya monumentalnya kitab al-Muwatta yang juga dikenal sebagai kitab hadis tertua saat ini.
Kemudian setelah habis masa tersebut maka, muncul lah beberapa perawi hadis seperti al-Bukhari yang memiliki kitab hadisnya bernama Sahih al-Bukhari dan seterusnya sampai lahir banyak dari ulama-ulama hadis lainnya sampai zaman kontemporer.
Al-Bukhari dalam kitab Sahihnya, banyak sekali dari ulama-ulama setelahnya yang mensyarah atau menerangkan apa yang ditulis pada kitab hadis itu.
Sebut saja Fath al-Bari karya dari Ibn Hajar al-Asqalani, kemudian irsyadu al-Sari karya al-Qastalani ada juga Umdah al-Qari karya Badr al-Din al-Ayni dan masih banak lagi karya pensyarah lainnya.
maka dari itu, penulis mencoba akan mengomparasi salah dua dari kitab-kitab tersebut untuk dikaji dan ditelaah isi yang terkandung. Berikut penjelasannya