Apa yang dilakukan oleh banyak orang, dan tampaknya islami, bahkan sering dihiasi dalil, dapat kita temui. Misalnya amaliah dikaitkan dengan apa yang mereka sebut nishfu sya’ban atau pertengahan bulan sya’ban. Demikian pula adanya gejala ramai-ramai ke kuburan di mana-mana di bulan Sya’ban atau menjelang Puasa Ramadhan. Ziarah kubur tiba-tiba banyak dilakukan orang menjelang ramadhan, di Jawa disebut sadranan atau nyadran.
Ziarah kubur itu sendiri adalah sunnah, bila sesuai dengan tata aturan syari’at Islam. Di antaranya tidak menentukan waktu-waktu tertentu diulang pada waktu tertentu, dengan acara tertentu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
…وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا. (رواه أَبُو داود بإسنادٍ صحيح) .
“… dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai ‘id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada waktu dan saat tertentu)….” (HR Abu Dawud – 1746 dengan sanad shahih).
Kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak boleh dijadikan sebagai ‘id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada waktu dan saat tertentu, dengan upacara tertentu), maka mestinya kubur siapapun tidak boleh juga . Kalau sekadar diziarahi dan sesuai syari’at Islam, tentu tidak apa-apa. Bahkan bila benar-benar sesuai dengan syari’at Islam pelaksanaan ziarah kuburnya, justru sunnah dan mengandung hikmah di antaranya untuk mengingat akherat, dan mendoakan mayat yang ada di dalam kubur. Namun ketika kebanyakan orang berziarah kubur itu setiap menjelang Puasa Ramadhan, maka perlu dilihat lagi hadits tersebut. Dan tampaknya apa yang dilakukan ramai-ramai banyak orang itu tidak cocok.
Ketika dicocokkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cocok, maka perlu dicari sebenarnya dari mana asalnya kebiasaan tiap tahun itu, dan dianggapnya dari Islam itu?
Doktor filsafat lulusan Universitas Gadjah Mada yang kini menjadi pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta, Purwadi, mengatakan, tradisi ziarah makam sudah sangat mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.
Ziarah ke makam wali, kata Purwadi, merupakan kepanjangan dari tradisi hinduisme bernama upacara srada. Tradisi ini sudah ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja yang memerintah Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14.
Srada adalah upacara untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada itulah, masyarakat Jawa mengenal nyadran, yaitu kegiatan menziarahi makam leluhur. Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Jadi, ziarah makam ini adalah bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam. (kompas cetak, Selasa, 18 Agustus 2009 | 12:00 WIB, dikutip Hartono Ahmad Jaiz dalam buku Kuburan-kuburan Keramat di Nusantara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2011, halaman 280-281).
Dari segi lafalnya, ziarah kubur adalah dari Islam. Sedang sadranan atau nyadran dari lafal sadra yang maksudnya upacara Hindu untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal, berasal dari upacara Agama Hindu setiap menjelang puasa. Itu satu sisi.
Dari sisi tidak bolehnya kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan ‘ied, tempat yang dikunjungi dengan acara tertentu dan secara berulang pada waktu tertentu, mestinya Ummat Islam lebih mentaati Nabinya daripada ibadahnya orang kafir musyrik lalu dibungkus seolah islami. Kenapa demikian? Karena Allah Ta’ala telah menegaskan:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al-Ahzab/ 33: 36).
Ketegasan Allah Ta’ala sedemikian jelas. Sehingga kita tidak dibolehkan ada pilihan lain-lain lagi di luar keputusan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.