Di Banjarmasin, juga ada tradisi tolak bala’ yang digelar menjelang akhir bulan Safar, memasuki bulan Rabiul Awal yang juga dikenal dengan nama bulan Maulud, mirip Basafa di Sumatera Barat. Ritual tolak bala’ versi umat Islam di Banjarmasin ini, berlangsung pada setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar, sehingga dinamakan Arba Mustakmir. Tujuannya, agar terhindar dari segala malapetaka, bencana, penyakit atau wabah yang tidak diinginkan selama setahun ke depan.
Pada tahun 2011 ini, Arba Mustakmir dimulai sejak terbenamnya matahari pada hari Selasa tanggal 1 Februari 2011 (bersamaan dengan tanggal 27 Safar 1432 Hijriah), hingga tenggelam matahari pada hari Rabu tangal 2 Februari 2011 (bertepatan dengan tanggal 28 Safar 1432 H). Antara lain berlangsung di Masjid Al Ikhwan jalan Veteran, juga di Langgar Baitur Ridhwan, Jalan Dahlia, Banjarmasin.
Ritual tolak bala’ biasanya diawali dengan shalat sunat Dhuha berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan membaca ya basith sebanyak 10 kali, membaca astaghfirullah lil mukminin wal mukminat, sebanyak 10 kali. Selanjutnya membaca doa khusus sebanyak tujuh kali, yaitu: “…subhanallahi mil almizan wa muntaha ilmi wa mabladzarridha wa jinatal arsy. Walhamdulillahi mil almizan wa muntaha ilmi wa mabladzarridha wa jinatal arsy. Wa la ilaha ilallahu mil almizan wa muntaha ilmi wa mabladzarridha wa jinatal arsy. Wallahu akbar mil almizan wa muntaha ilmi wa mabladzarridha wa jinatal arsy…”
Bahkan ada yang melengkapi ‘peribadatan’ Arba Mustakmir-nya dengan membaca surah Yaa Siin dengan tata cara yang berbeda. Yaitu, ketika sampai pada ayat 58 yang berbunyi salaamun qaulam mir rabbir rahiim, dibaca sebanyak 313 kali, barulah dilanjutkan ke ayat berikutnya sampai selesai.
Bagi sebagian umat Islam yang bernaung di bawah majelis taklim tertentu, pembacaan surah Yaa Siin dengan tata cara berbeda ini, juga dilakukan pada hari-hari biasa. Namun ayat 58 yang berbunyi salaamun qaulam mir rabbir rahiim, hanya dibaca sebanyak tiga kali saja. (Banjarmasinpost.co.id – Rabu, 26 Januari 2011).
Bila di Banjarmasin dan Sumatera Barat ada ritual tolak bala’ yang secara khusus dilaksanakan pada bulan Safar, maka di Banyuwangi ada ritual tolak bala’ yang secara khusus dilaksanakan pada bulan Syawal, yaitu Seblang. Ritual Seblang yang berlangsung pada hari ketujuh pada bulan Syawal, bertujuan untuk membebaskan dari marabahaya (tolak bala’) dan berharap selalu mendapat lindungan dari Allah SWT. Ritual Seblang antara lain masih diamalkan oleh warga Desa Olehsari Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur. Bentuknya, berupa tari-tarian yang diperagakan oleh gadis muda berusia belasan.
Di tempat acara, di atas pentas penari akan memasuki tahapan tidak sadar diri karena sudah kemasukan roh halus (kesurupan), setelah disematkan mahkota (omprog) seberat 2 kilogram yang terbuat dari berbagai bunga seperti bunga kantil, kamboja, sundel, bunga pencari kuning dan putih. Roh halus yang merasuki sang penari Seblang, dipercaya sebagai roh nenek moyang. Pada saat penari Seblang sudah kemasukan roh halus, maka itu merupakan pertanda bahwa desa mereka akan terbebas dari marabahaya.
Dalam keadaan tidak sadar, penari Seblang lengkap dengan mahkota (omprog), kemben dan jarit, meliuk-liuk selama sekitar lima jam mengelilingi pentas, lengkap dengan 32 gending seblang dan puluhan sinden mengiringi setiap gerakan sang penari. Selanjutnya, penari melemparkan selendang kearah penonton. Selanjutnya, penonton yang terkena lemparan selendang, wajib berlenggak-lenggok di atas pentas bersama penari Seblang. Momen melempar selendang ini dinamakan Tundik.
Puncaknya, penari akan melempar kembang dirmo. Mereka percaya, siapa saja yang bisa memilik kembang dirmo yang dlempar penari Seblang, maka keinginannya akan mudah terwujud.