Ritual Tolak Bala’
Pada dasarnya, ritual tolak bala’ sama sekali bukan ajaran Islam. Namun, oleh sebagian kalangan, ritual ini dikemas dengan berbagai atribut Islam, dan dianggap sebagai muatan lokal yang mewarnai dan memperkaya Islam. Padahal, itu sama saja dengan mencampur-adukkan yang hak dengan yang bathil. Muatan lokal boleh saja, sejauh tidak bertentangan dengan akidah.
Ritual tolak bala’ tidak bisa dikatakan sebagai fenomena kultural semata, karena dalam perspektif Islam, hal itu bertentangan dengan akidah. Selain itu, ritual tolak bala’ justru menjadi syariat agama-agama di luar Islam, seperti Konghucu, Budha, dan sebagainya. Dengan demikian, mempraktekkan ritual tolak bala’, sama saja dengan menjalankan syari’at agama non Islam yang paganis alias berhalais.
Masalahnya, oleh sebagian kalangan, ritual tolak bala’ dipaksakan untuk mendapat tempat terhormat, yaitu diposisikan sebagai tradisi warisan luhur nenek moyang, atau sebagai budaya bangsa yang harus dilestarikan, dan sebagainya. Padahal, ritual-ritual semacam itu selain menguras waktu, tenaga dan biaya, juga bermuatan pembodohan terhadap rakyat kebanyakan bahkan penyesatan yang nyata.
Pemaksaan itu nampaknya berhasil di sebagian kalangan. Sehingga mereka yang sehari-hari mengaku beragama Islam pun, mempraktikkan ritual tolak bala’ yang sarat pembodohan dan syirkiyah (kemusyrikan, dosa paling besar, dan tidak diampuni Allah Ta’ala bila pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat) itu.
Sebelum kami uraikan praktek upacara ritual tolak bala’ di berbagai tempat, di sini kami kutipkan hukum ritual semacam itu, dan kami kategorikan dalam hal hukum tumbal dan sesajen. Setelah itu kami kutipkan tentang hukum praktek kemusyrikan.