وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا [النساء/60، 61]
Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. An-Nisaa’ [4] : 60-61)
BAGI PENDUDUK NEGERI JIRAN yang belum kenal Indonesia, kesan pertama mereka tentang Indonesia adalah sebuah negeri yang terbelakang dan kumuh. Kesan seperti itu sangat wajar, karena ‘duta bangsa’ yang mereka kenali selama ini adalah para tenaga kerja yang umumnya dari pedesaan. Namun, begitu mereka berkesempatan datang ke Indonesia, khususnya Jakarta, mereka sontak terkejut. Karena, kesan terbelakang yang mereka bayangkan semula, justru jauh dari kenyataan.
Di Indonesia, terutama Jakarta dan kota-kota besar lainnya, telah sejak lama berdiri aneka gedung megah perkantoran atau pusat perbelanjaan, termasuk apartemen menengah hingga super mewah, sebagaimana lazim ditemukan di berbagai kota besar dunia. Keterkejutan mereka barangkali tidak sampai di situ saja. Karena, begitu mereka tahu bahwa gedung-gedung yang mewah dan megah tadi, ternyata sebagian besar dimiliki oleh para hoakiao (Cina perantauan) yang umumnya non Muslim.
Mereka akan lebih terkejut lagi manakala menemukan kenyataan, bahwa di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, begitu mudah mengunjungi tempat maksiat, begitu mudah mendapatkan gadis muda sebagai pelacur dengan harga murah, begitu mudah mendapatkan aneka jenis narkoba, begitu mudah mendapatkan mangsa anak-anak di bawah umur untuk dijadikan pemuas syahwat para pengidap phedophilia.
Bagi penduduk jiran yang terlanjur mengenal Indonesia sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Muslim, akan dikejutkan lagi oleh kenyataan bahwa di negeri yang mengaku berpaham Ahlussunah wal Jama’ah ini ternyata praktik nikah mut’ah yang haram itu justru diamalkan secara terbuka, bukan karena mereka (para pelaku nikah mut’ah) itu berpaham syi’ah, tetapi karena nikah mut’ah alias kawin kontrak telah dijadikan jalan pintas untuk keluar dari kemiskinan turun temurun.
Masih ada lagi keterkejutan lainnya. Yaitu, manakala mereka menemukan sejumlah fakta bahwa di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini, ternyata praktik syirkiyah dan bid’ah justru diamalkan secara serius seperti amalan syar’iyah. Bahkan oleh sebagian kalangan, amalan syar’iyah tidak begitu diminati karena mereka justru lebih doyan amalan yang tergolong bid’ah dan syirkiyah. Misalnya, ritual tolak bala’.