Ribath, Siaga di Jalan Ketaatan

Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan makna ribath dalah hadits tersebut, “asal makna ribath adalah al-habsu (menahan) atas sesuatu, seperti menahan dirinya untuk berada dalam ketaatan ini.” Beliau juga mengatakan bahwa hadits ini mengandung pengertian tentang jenis ribath yang lebih mudah dan lebih memungkinkan untuk dikerjakan, sehingga berjaga-jaga untuk shalat merupakan satu jenis dari ribath.” Beliau menukil pendapat tersebut dari al-Qadhi ’Iyadh. Penafsiran ini menguatkan apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Mubaarak rahimahullah, bahwa ribath tak hanya dibutuhkan di medan perang saja.

Sedangkan al-Mubaarakfuri dalam Tuhaftul Ahwadzi mengaitkan antara dua jenis ribath ini, “Pengertian asal dari ribath adalah ketika dua kubu saling berjaga di perbatasan yang diperkirakan dari arah situlah lawan akan menyerang. maka membiasakan diri untuk bersuci dan yang semisalnya itu seperti (ribath dalam) jihad. Ada pula pendapat yang menjelaskan maknanya bahwa amal tersebut bisa menahan seseorang dari maksiat dan mencegahnya dari  hal-hal yang haram, begitulah yang disebutkan dalam al-Majma’.”

Di sisi lain, hadits Ini menggambarkan keutamaan menjaga shalat, sekaligus keutamaan ribath  yang dijadikan sebagai kemiripan yang dijadikan sebagai “iming-iming” pahala yang dijanjikan. Karena memang ribath memiliki pahala yang besar, dan keutamaan seperti itu bias diraih di waktu aman.

Banyak fadhilah yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam perihal keutamaan ribath. Di antaranya sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

“Ribath (bersiap siaga) satu hari di jalan Allah lebih baik dari dunia dan apa saja yang ada di atasnya.” (HR Bukhari)

Lantas bagaimana denagn orang yang melakukan ribath berhari-hari dan bahkan berbulan-bulan?