Namun jenderal kurus berdada tipis itu harus menelan kekecewaan. Ajakannya ditolak, bahkan ia dibujuk agar ikut menyerah pada keadaan. “Dik Dirman kan sedang sakit keras, lebih baik tetap di kota agar bisa mendapat perawatan kesehatan,” rayu Soekarno.
Sikap sabar dan keras hati Sudirman, godokan pengajian Muhammadiyah dan Kepanduan HW yang diikutinya sejak kecil, kembali muncul. Ia menolak bujukan itu, “Saya panglima, tempat saya di medan tempur bersama anak buah saya.”
Ucapan Sudirman menunjukkan sikap tsabat seorang mujahid. Sekaligus mengandung sindiran tajam kepada Soekarno, “Apa artinya retorika perjuangan di atas podium. Buat apa mendirikan negara jika hanya untuk diserahkan kepada musuh.” Kurang lebih mungkin itu yang ada di batin Sudirman.
Maka kedua pemimpin itupun memilih jalan masing-masing. Yang satu diam di kota dan menyambut musuh dengan bendera putih. Yang satunya meninggalkan kota dan menyambut musuh dengan paru-paru sebelah namun aqidah pantang menyerah.
Sejarah kemudian membuktikan, Republik Indonesia hampir runtuh hari itu. Betapa tidak, hampir seluruh wilayah dikuasai Belanda. Kepemimpinan pun demikian, presiden dan kabinetnya ditawan dan diasingkan. Tinggal para pejuang dan TNI yang masih bertahan dan terus melawan.
Eksistensi Republik Indonesia pun terjaga dengan sikap kukuh Sudirman. Masih ada panglima dan tentara yang berjihad bersama rakyat. Tak semua simbol republik menyerah. Apalagi Mr Syafruddin Prawiranegara, politisi Muslim dari Masyumi, mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Alhamdulillah, Allah Ta’ala masih menyisakan sikap sabar dan tsabat kepada seorang Sudirman. Subhanallah, ternyata Allah pernah menyelamatkan bangsa dan negara ini melalui seorang hamba-Nya yang begitu ringkih fisiknya namun begitu kuat aqidahnya. (-)