Sebenarnya, menjelang Ramadhan bulan lalu, kelompok-kelompok pengasingan Uyghur telah mendesak masyarakat internasional untuk berbicara atas nama anggota kelompok etnis mereka yang mengalami penganiayaan di XUAR. Secara khusus, mereka meminta umat Islam di seluruh dunia untuk mendo’akan orang-orang Uighur selama bulan suci Ramadhan dan menyerukan kepada pemerintah masing-masing untuk menuntut agar China segera menghentikan penganiyaan agama terhadap warga Uighur.
Kongres Uighur Dunia yang berbasis di Munich (WUC) mencatat, negara-negara dan pemimpin mayoritas Muslim bersikap diam terhadap situasi di Xinjiang. Karena itu, WUC meminta mereka untuk berhubungan kembali dengan keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang. Pemimpin Muslim diminta bertindak benar dengan menuntut China menghentikan kejahatannya terhadap kemanusiaan atas etnis Uighur.
Kampanye untuk Uighur (CFU) yang berbasis di Washington menekankan, bahwa puasa bagi umat Islam mengingatkan akan penderitaan, perjuangan dan rasa sakit orang lain. Puasa berarti menempatkan diri pada posisi mereka yang kurang beruntung.
“Karena itu, kami meminta Anda melakukan hal yang sama. Ingatlah orang Uighur yang direnggut dari keluarga mereka, mereka yang dianiaya karena agama mereka yang damai, dan mereka yang terus menjadi tahanan tanpa kejahatan,” demikian seruan CFU.
Penahanan massal di XUAR, serta kebijakan lain yang dianggap melanggar hak-hak Uyghur dan Muslim lainnya, telah menyebabkan meningkatnya seruan oleh masyarakat internasional untuk meminta pertanggungjawaban Beijing atas tindakannya di wilayah tersebut. Tindakan China itu juga mencakup penggunaan teknologi canggih dan informasi untuk mengendalikan dan menekan warganya.
Pada Juli tahun lalu, di Kantor Menteri untuk Memajukan Kebebasan Beragama di Washington, Sekretaris Negara AS Mike Pompeo menyebut kamp-kamp penahanan di XUAR sebagai salah satu krisis hak asasi manusia terburuk di zaman sekarang dan merupakan noda di abad ini. (rol)