Penamaan Sriwijaya sendiri diharapkan pendirinya agar maskapai itu dapat mengekor kebesaran kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu.
Sebelum terjun ke bisnis maskapai penerbangan, Chandra Lie sebenarnya adalah pengusaha garmen.
Peruntungan dari Sriwijaya Air boleh jadi merupakan berkah dari deregulasi industri penerbangan. Hal ini tidak lepas dari UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Deregulasi penerbangan itu memungkinkan siapa pun bisa mendirikan maskapai penerbangan dengan hanya dua atau bahkan satu unit pesawat.
Penambahan pesawat dan juga rute dilakukan seiring pendapatan yang terus bertambah. Sebelum Sriwijaya Air mengangkasa, telah ada Lion Air (1999), Indonesia Airasia (1999), dan Citilink Indonesia (2001).
Ketika Sriwijaya Air mengudara pada tahun 2003, juga mengudara armada Wings Abadi Airlines (2003) dan XpressAir (2003).
Kehadiran Sriwijaya Air langsung mendisrupsi perilaku bertransportasi warga Bangka untuk keluar masuk pulau. Hanya dalam enam bulan, kapal cepat Pangkal Pinang-Jakarta berhenti beroperasi. Tidak mampu bersaing.
Betapa tidak, Sriwijaya Air pada akhir tahun 2003 menjual tiket Jakarta-Pangkal Pinang seharga Rp 175.000 untuk penerbangan selama 1 jam 15 menit. Sementara tarif kapal cepat Rp 155.000-Rp 165.000 untuk 10 jam pelayaran. Warga Bangka jelas memilih terbang untuk mencapai Jakarta.
Sriwijaya Air kemudian terus berekspansi. Pada April 2005, misalnya, Sriwijaya Air mendarat di Solo. Itu kabar baik karena tadinya masyarakat Solo Raya hanya dilayani Garuda Indonesia dan Lion Air yang membuka rute Solo-Jakarta.
Sriwijaya Air bahkan punya strategi terbang dari Jakarta pada pukul 08.00, lebih pagi daripada Garuda Indonesia dan Lioan Air.
Menjelang akhir 2005, Sriwijaya Air telah mengoperasikan 14 unit pesawat Boeing 737-200. Chandra Lie pun mengumumkan akan mendatangkan 10 unit Boeing 737-300 dan B737-400.
Sriwijaya Air pun akan terbang dengan pesawat yang setipe dengan Garuda Indonesia. Sriwijaya Air mulai menantang Garuda, meski Chandra Lie selalu merendah apabila ada yang mencoba menyandingkannya Sriwijaya Air dengan Garuda.
Rencana untuk mendatangkan Boeing dengan tipe yang lebih baru itu juga sejalan dengan rencana Sriwijaya Air untuk ekspansi hingga regional. Sriwijaya Air berekspansi ke Penang dan Singapura.
Tahun 2010, Sriwijaya Air telah mengoperasikan 27 unit pesawat dengan mengangkut 7,12 juta orang. Sriwijaya Air menguasai 11,8 persen pasar penerbangan domestik Indonesia di bawah Lion Air, Garuda Indonesia, dan Batavia Air. Dua tahun kemudian, Sriwijaya Air menyalip Batavia Air sehingga menempati posisi ketiga.
Pada tahun 2010 itu, kabar-kabar positif terdengar dari Sriwijaya Air. Pada Oktober 2010, Sriwijaya Air menandatangani kontrak pengadaan 20 unit Boeing 737-800 NG, yang juga digunakan Garuda Indonesia.
Selang beberapa minggu, Sriwijaya Air menandatangani kontrak pengadaan 20 unit Embraer dari Brasil. Pesawat Embraer ini setipe dengan Bombardier yang didatangkan Garuda.
”Penambahan 20 unit pesawat baru pada Sriwijaya Air ini juga merupakan jawaban atas tawaran menarik yang dilontarkan Direktorat Angkutan Udara Kementerian Perhubungan untuk ambil bagian dalam penyediaan 4.000 kursi ke Australia pada tahun 2011,” kata Direktur Utama Sriwijaya Air Chandra Lie.
Meski bersaing, Sriwijaya Air kemudian memercayakan pemeliharaan dan perbaikan pesawatnya di Garuda Maintenance Facilities atau GMF AeroAsia.