Eramuslim.com – Tulisan ini saya tulis berdasarkan realitas yang dihadapi rakyat Papua. Saya telah melihat langsung, memantau, mendengar dan mencatat dimana seluruh isinya cek langsung ke rakyat Papua juga cerita-cerita dengan tidak kurang dari 8 Bupati/mantan Bupati dan Pejabat masih aktif. Saya menulis ini adalah kontribusi saya sebagai penyelidik profesional yang pernah menangani tidak kurang dari 15 ribu kasus di Indonesia. Tulisan ini kontribusi saya untuk kebaikan dan perbaikan bersama (bonum commune).
58 Tahun hidup dalam nestapa, ratusan ribu orang Papua dibantai didasari atas kebencian rasisme terhadap bangsa Papua yang berkulit hitam dan rambut kriting.
Kata-kata yang mengandung kekerasan verbal dengan sebut monyet, kera, gorila, bahkan Kete, telah lama diterima orang Papua. Pelakunya tidak hanya rakyat sipil biasa tetapi justru dilakukan oleh aparat negara baik di Papua maupun di luar Papua. Makin lama pendatang bersikap, perilaku dan berbuat rasis dan dibalas dengan sikap segregatif rakyat Papua sebagai ungkapan sakit hati.
Lebih ironis lagi Aparat Intelijen, TNI dan Polri menjadikan kaum pendatang sebagai mitra, informen bahkan pasukan milisia. Secara sengaja atau tidak Aparat menggiring Pendatang orang sipil tidak berdosa yang sedang mengadu nasib di tanah Papua sebagai kelompok milisia. Itulah pemicu kebencian akut rakyat Papua terhadap pendatang jadi kenapa hari ini bangsa Orang Papua dicaci maki, dicemooh, dimusuhi?. Mengapa tidak marah kepada aparat negara yang menggiring pendatang rakyat sipil tidak berdoa bermain dalam bara api di Papua yang memang wilayah konflik.