Lalu, apa relevansinya uraian tersebut dalam konteks Kongres ini? Diharapkan Kongres ini menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat melalui media forum komunikasi dan silaturahmi ulama. Sebagai forum ulama, paling tidak harus mencerminkan dua peran keualamaan, mas’uliyyatur ri’ayah -tanggungjawab kepemimpinan- dan ahdillatut thariqah -petunjuk jalan. Dengan dua peran utama itu, Kongres ini harus membawa aspirasi umat tanda membeda-bedakan mazhab sesuai fungsinya sebagai khadimul ummah -pelayan umat.
Sebagai wadah berkumpulnya para ulama, cendekiawan dan tokoh Muslim dalam beragam Mazhab, Badan Pekerja Kongres harus berani menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, berupa dakwah, pendirikan serta memberi nasihat politik berbasis keagamaan kepada pemerintah dan umat Islam atas suatu perkara, terutama saat terjadinya ketidakpastian seperti sekarang ini. Sehingga segala kebijakan, fatwa dan sikapnya selalu mengacu pada kemashlahatan umat atas dasar ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basariyah.
Dengan tema: “Penguatan Peran Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya yang Berkeadilan dan Berperadaban”, berarti tidak hanya mencakup masalah ibadah atau ubudiyah, tetapi juga kemashlahatan di dunia, menyangkut mu’amalah -hubungan sosial- yang berkorelasi dengan urusan politik. Dengan berpedoman pada pendapat Bung Karno tersebut, kiranya Kongres ini akan menemukan solusi di jalan lurus-Nya.
Dengan harapan seperti itulah, Pemerintah dan Rakyat Yogyakarta menyambut digelarnya Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 ini. Semoga Allah SWT melimpahkan berkah serta rahmat-Nya, agar Kongres ini memberikan kemashlahatan bagi umat, bangsa dan negara dan rakyat Indonesia. Jangan sampai membuat bingung umat Islam, laksana biji-biji tasbih yang lepas dari tali perangkainya. Akhirul kalam, “Selamat ber-Kongres, semoga Sukses!”
Tertanda
Hamengku Buwono X
(end)