Eramuslim.com – SEBELUM penjajahan Eropa dan semacamnya ke negeri-negeri Islam, umat Islam pada umumnya sangat erat hubungannya dengan aksara dan huruf Arab. Di Indonesia ada istilah Arab Pegon atau Arab Melayu. Huruf dan aksaranya tetap Arab tapi bahasanya adalah bahasa setempat.
A. H. Johns, dalam artikelnya berjudul “Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu Sebuah Renungan” mencatat bahwa, “Pada tahun 1600….Di seluruh kawasan nusantara, bahasa Melayu boleh dikatakan hanya ditulis dengan suatu jenis huruf Arab.” (Baca: Henri Chambert-Loir, SADUR Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, 2009: 50).
Ini menunjukkan betapa dominannya penggunaan huruf Arab Melayu. Ini belum terhitung di negara-negara yang mayoritas muslim lainnya. Dalam pandangan Prof. Al-Attas –sebagaimana dalam buku “Islam dan Sekularisme” (1981: 196) cetakan Salman Bandung– menulis bahwa ada hubungan formal, leksikal dan konseptual antara huruf Arab dengan bahasa dari rakyat Islam.
Usaha untuk “romanisasi” atau “latinisasi” huruf atau aksara Arab dari bahasa setempat umat Islam, akan memisahkan hubungan-hubungan tersebut. Pihak yang harus bertanggung jawab adalah para pemimpin palsu di antara kaum muslimin yang mengabdi pada kepentingan kolonial.
Efeknya ternyata tak sampai di situ, ada juga: dearabisasi, westernisasi serta kebingungan bahasa dan semantik sehingg konsep-konsep penting dalam Islam beserta pandangan hidup (wold view)-nya menjadi kabur.
Di Indonesia, dari usaha intensif kolonial, berhasil menggeser dominasi huruf Arab di tengah-tengah umat Islam. Sehingga wujud dan pelestarian huruf Arab Pegon atau Arab Melayu kian sempit dan kalau pun ada kebanyakan di dunia pesantren tradisional.
Kondisinya tak jauh beda dengan Turki di saat kejatuhannya berganti republik. Pasca 1923, saat Kemal Attaturk berkuasa, digencarkan dearabisasi. Bahkan dalam ibadat pun sempat dilarang adzan berbahasa Arab dan seterusnya. Apalagi, huruf-huruf Arabnya.
Dr. Adian Husaini mencatat dalam bukunya “Wajah Peradaban Barat” (272-274) bahwa usaha Kemal At-Taturk sejak awal memang mau menjadikan Turki modern berkiblat ke Barat. Sehingga ada upaya untuk mengganti bancaan shalat dengan bahasa Turki, selain itu mengganti azan dengan bahasa Turki dan lain sebagainya.
Badiuzzaman Said Nursi (1877-1960) mengalami suasana yang sangat sulit ini. Meski begitu, beliau misalnya dengan RISALAH NUR-nya, mencoba melestarikan tulisan Arab karena dinilai sebagai tulisan Al-Qur`an.
Perhatikan catatan berikut, “Risalah Nur yang mendapat tugas pengabdian untuk menjaga tulisan al- Quran harus disebarkan dengan tulisan al- Quran. Ketika itu penulisan buku dengan menggunakan huruf Arab dilarang dan percetakannya ditutup, sementara Ustadz Badiuzzaman tidak memiliki harta sedikitpun. Para penulis dan penyalin Risalah Nur hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka. Orang-orang yang menyalin Risalah Nur dibawa ke kantor polisi, disiksa, dan dijebloskan ke penjara.” (Baca: Biografi Badiuzzaman Said Nursi Berdasarkan Tuturannya dan Tulisan Para Muridnya, 2020: 199).
Jadi, untuk menjaga dan melestarikan huruf Arab kala itu sungguh sulit. Meski demikian, segala risiko diambil oleh Sa’id Nursi dan para muridnya.
Mengenai anjuran Sa’id Nursi untuk menjaga kelestarian huruf Arab bisa dibaca dalam karya beliau berjudul “al-Lama’āt”. Ada bab khusus yang dalam bahasa Indonesia diartikan “PENGABDIAN MENJAGA HURUF AL-QUR`AN”. Di mana di antaranya disebutkan bahwa asas dakwah an-Nur adalah : “Pengabdian untuk al-Qur`an.”
Tujuan menjaga huruf Arab sebagaimana penjelasan Said Nursi adalah demikian, “Di antara tugas penting Risalah al-Nur adalah menjaga huruf-huruf Arab yang merupakan tulisan dan aksara yang digunakan di sebagian besar dunia Islam.”
Dengan perjuangan sungguh-sungguh ini, beliau dan para pejuang muslim lain yang sepaham di Turki masih bisa menjaga kelestarian huruf Arab hingga Turki menjadi bentuknya sekarang ini. Usaha-usaha dearabisasi, deislamisasi dan westernisasi dengan meniadakan huruf Arab bisa dibilang gagal.
Dan Badiuzzaman Sa’id Nursi punya andil penting di dalamnya. Bukan saja secara konseptual, tapi sudah dalam ranah aplikatif-konkret.
Sebagai tambahan, salah satu bukti konkret penjagaan Said Nursi dan para Thullābun Nūr (para murid Said Nursi), salah satunya Al-Chairat Fondation, saat Al-Qur`an dan pengajarannya dilarang pada era sekuler Attaturk, mereka menggalang dana wakaf untuk membangun percetakan Al-Qur`an.
Hingga saat ini, Al-Qur`an produk percetakaan itu tersebar di 72 negara dunia terutama Afrika yang kurang akses terhadap Al- Quran. Di antara progamnya adalah wakaf Al-Qur`an dengan tema: “DUNIA MEMBACA AL-QUR`AN”.
Ini membuktikan bahwa Said Nursi dan para muridnya berjuang dengan gigih menjaga kelestarian huruf Al-Qur`an atau huruf Arab dengan berbagai cara yang telah disebutkan tadi sehingga huruf-huruf itu –ditengah upaya dearabisasi, deislamisasi dan westernisasi—masih lestari hingga sekarang.
(Hidayatullah)