Dalam jiwa penuh dengan kekuatan Iman, maka pergilah Sayyid Quthb ke Amerika. Dalam perjalanan itu, ia bertanya-tanya kepada dirinya: Apakah saya pergi ke Amerika lalu disana akan berperilaku sebagaimana perilaku para utusan lainnya yang hanya puas dan merasa cukup dengan makan dan tidur saja? Ataukah saya harus datang membawa perilaku yang berbeda?
Apakah saya akan tetap menunjukkan keIslaman saya dan berpegang pada ajaran-ajarannya dan mentaati semua aturannya dalam kehidupan gemerlap untuk memuaskan hawa nafsu serta semua perbuatan haram? Segudang pertanyaan itu betul-betul menantang keimanannya. Namun, Sayyid sudah tahu apa yang harus ia lakukan setiba di Amerika.
Pada akhir tahun 1948, akhirnya Sayyid Quthb meninggalkan Iskandariah, Mesir, menuju Amerika melalui Kapal Api dengan melintasi laut tengah dan mengarungi samudera Atlantik. Diatas kapal api itulah banyak persitiwa yang terjadi dan membekas dalam hatinya. Bahkan kenangan dalam perjalanan menuju Amerika itu banyak dituangkan saat ia menulis Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an. Salah satu kisahnya saat beliau melihat seorang misionaris Kristen berupaya mengkristenkan orang-orang Islam yang menumpang kapal tersebut. Kejadian itu berlangsung tepat ketika waktu bergulir menuju Shalat Jum’at.
Sayyid Quthb melihat sang misionaris tidak ubahnya pendeta-pendeta pada umumnya yang menawarkan ajaran agama Kristen yang sangat kacau. Sontak saja, hal ini membangkitkan rasa dan semangat keimanan Sayyid Quthb untuk menjaga akidah saudara semuslimnya. Tidak butuh menunggu waktu lama, beliau segera menghubungi kapten kapal untuk meminta izin mendirikan Sholat Jum’at di atas kapal. Semua orang Islam, berikut awak kapal pun kemudian mendatangi panggilan Shalat Jum’at yang diinisiasikan Sayyid Quthb. Ia pun akhirnya bertindak sebagai khotib. Dan usut punya usut Sayyid Quthb ternyata tengah melakukan perubahan besar dalam kapal tersebut.
Rupanya, shalat Jum’at yang ia pimpin adalah shalat Jum’at pertama yang didirikan di kapal tersebut. Mengenai hal ini, Sayyid Quthb sempat menulisnya dalam Tafsir Fii Dzihilalil Qur’an saat membahas Surat Yunus.
“Nahkoda kapal (seorang Inggris) memberikan kemudahan kepada kami untuk menunaikan shalat. Ia memberikan kelonggaran kepada para awak kapal, para juru masak, dan para pelayannya, yang kesemuanya beragama Islam untuk menunaikan shalat Jum’at bersama kami asalkan tidak ada tugas saat waktu itu. Mereka sangat bergembira, karena ini merupakan kali pertama dilaksanakannya shalat Jum’at di kapal tersebut.”
Sayyid bersama para jama’ah kemudian menjadi santapan para penumpang asing. Gerakan Sholat Sayyid dan kaum muslimin lainnya terasa asing bagi mereka namun memendam kelembutan ibadah yang begitu syahdu. Hingga sesaat setelah shalat Juma’at dilaksanakan, banyak diantara orang asing mendatangi Sayyid dan para jama’ah seraya mengucapkan selamat dan sukses atas ibadah Jum’at yang baru saja dilaksanakan. Sayyid Quthb pun menulis kenangan itu dalam Kitab Fi Dzhilalil Qur’annya,
“Saya bertindak sebagai Khatib dan imam shalat Jum’at itu. Para penumpang yang sebagian besarnya orang asing itu duduk-duduk berkelompok-kelompok menyaksikan kami shalat. Setelah menunaikan shalat banyak dari mereka, yang datang kepada kami untuk mengucapkan selamat atas kesuksesan kami melaksanakan tugas suci. Dan ini merupakan puncak pengetahuan mereka tentang shalat kami.”
Salah satu orang yang mendatangi jema’ah Sayyid Quthb adalah seorang wanita beragama Nashrani berkebangsaan Yugoslavia. Wanita itu sendiri adalah orang melarikan diri dari tekanan dan ancaman komunis Teito. Wanita itu mengaku takjub atas kesyahduan dan ketertiban Shalat Jum’at yang didirikan Sayyid Quthb dan kaum muslimin. Air matanya pun tak kuasa untuk dibendung. Ia menangis mengetahui betapa nilai-nilai rabbani yang dilantunkan Sayyid Quthb tidak mampu menahan perasaannya.
Wanita itu pun begitu heran. Ia bertanya-tanya alunan musik apa yang baru saja dibacakan Sayyid Quthb. Irama itu pun tidak pernah dikenalnya selama ini. Ia melihat sang imam (yakni Sayyid Quthb) membacakan kalimat-kalimat berlainan namun penuh dengan bahasa dan irama. Menurutnya hal itu tidak pernah ia dengar dalam agamanya selama ini. Akhirnya wanita itu pun kaget saat mengetahui bahwa bahasa yang dilantunkan Sayyid Quthb dalam Shalat Jum’at adalah ayat-ayat Al Qur’anul Karim, sebuah kitab suci mulia bagi umat muslim.
Inilah yang membuat Sayyid Quthb semakin memahami bagaimana kekuatan redaksi di dalam Al Qur’an begitu mempesona. Tidak hanya bagi umat muslim, juga bagi non musim. Karena ucapan takjub itu sendiri keluar dari mulut seorang wanita yang belum pernah memahami satu huruf pun di dalam Al Qur’an. Tentang kejadian itu, Sayyid Quthb menulis dalam Kitab Fii Dzhilalil Qur’an,
“Terjadinya peristiwa ini dan peristiwa-peristiwa serupa lainnya, yang dialami banyak orang menunjukkan bahwa di dalam Al Qur’an ini terdapat rahasia lain yang ditangkap oleh sebagian hati manusia, hanya semata-mata ia mendengar Al Qur’an dibaca. Boleh jadi keimanan wanita kepada agamanya dan pelariannya dari negeri komunis itu telah menjadikan perasaannya begitu sensitif terhdap kalimat-kalimat Allah secara mengaggumkan seperti ini.”
Maka itu Sayyid Quthb, merasa perlu untuk memperbincangkan Al Qur’an dengan kekuatannya, yang tersembunyi dan mengagumkan itu. Sebelum membicarakan segi-segi pengetahuan yang dapat diketahui lebih banyak, daripada orang lain oleh orang-orang yang mempelajari seni pengungkapan dan orang-orang yang berusaha memikirkan dan merenungkannya.
Menurut Sayyid Quthb penyampaian Al Qur’an memiliki keistemewaan karena yang ditunjukinya lebih luas, pengungkapannya lebih lembut, indah, dan lebih hidup. Selain itu menurut Sayyid Quthb, Al Qur’an pun memiliki metode penjelasan yang diluar kemampuan jangkauan manusia. Seperti bagaimana Al Qur’an menyampaikan metodenya dalam beberapa ayat di dalam surat Yunus.
“ dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya Termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Surat Yunus, 90)
Menurut Sayyid Quthb, Sampai disini kisah ini diceritakan, kemudian dikomentari secara langsung, dengan firman yang diarahkan kepada pemandangan yang dihadapi sekarang,
“ Apakah sekarang (baru kamu percaya), Padahal Sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (Surat Yunus 91-92)
Kemudian disusul lagi dengan membeberkan pandangan yang terus terjadi hingga sekarang ini, (bahkan pada masa-masa selanjutnya),
“ dan Sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Israil di tempat kediaman yang bagus dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (Surat Yunus 93)
Maka benarlah kata Sayyid Quthb bahwa redaksi Al Qur’an sangat berbeda dengan redaksi ciptaan manusia. Redaksi atau susunan Al Qur’an mempunyai kekuatan yang hebat terhadap jiwa, dimana redaksi ciptaan manusia tidak pernah bisa memilikinya. Dengan hanya membacanya, maka kadang-kadang dapat menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang bahasa Arab. Ya termasuk wanita Yugoslavia itu, yang menangis mendengar bacaan Al Qur’an. (pz/bersambung)