Ketika Sayyid Quthb tiba di Amerika, ia sudah merasakan keganjilan tentang bangunan peradaban yang didirikan Amerika. Amerika yang dielu-elukan sebagai Negara maju, ternyata memilik permasalahan serius dalam standar kehidupan mereka.
Menurut Sayyid Quthb, masyarakat Amerika pada umumnya telah bekerja bagai sebuah mesin otomatis. Mereka memiliki tuhan bernama pabrik, industri, materi, dan teknologi. Efek dari ini semua bahwa Amerika telah mengalami keruntuhan psikologis dalam taraf yang akut. Masyarakat Amerika sangat asyik bekerja sampai-sampai mereka lupa bahwa mereka adalah manusia. Sayyid Quthb menulis,
“Saya khawatir bahwa di Amerika tidak ada keseimbangan antara kebesaran dan peradaban materi dengan kebesaran manusia yang menciptakan perabadan tersebut. Saya khawatir bahwa roda kehidupan akan terus berjalan dan lembaran zaman telah terlipat, sedangkan Amerika belum menambahkan apa-apa atau menambahkan tetapi hanya sedikit sekali dari nilai nilai kemanusiaan itu, nilai-nilai yang membedakan antara manusia dengan benda, membedakan antara manusia dengan binatang.”
Padahal menurut Sayyid Quthb suatu peradaban manapun yang dilalui manusia tidak terletak pada kecanggihan teknologi yang diciptakannya. Tidak pula terletak pada kedahsyatan kekuatan yang dimilikinya atau hasil-hasil produksinya, tetapi sebagian besar nilai suatu peradaban terletak pada besar kecilnya manusia mengetahui kenyataan-kenyataan tentang alam semesta dan gambaran-gambaran serta nilai kehidupan. Artinya Sayyid Quthb meletakkan fondasi rabbani sebagai kebenaran hakiki dari kemajuan peradaban.
Oleh karena itu, hasil dari ideologi materialisme yang diterapkan dalam standar kehidupan bangsa Amerika, akan sangat terlihat bagaimana ketika masyarakat Amerika melihat apa yang kita sebut sebagai nilai-nilai ukhrawi. Menurut Sayyid Quthb, ada fenomena menjijikkan di Amerika. Bagaimana masyarakat Amerika melihat sebuah musibah dengan kacamata hedonisme.
Ada sebuah pengalaman menarik tentang hal ini yang diuraikan dengan sangat baik oleh Sayyid Quthb. Kisah ini pernah ia tulis dalam Majalah Ar Risalah, Mesirtertanggal 15 November 1951. Menurutnya, saat mendapati musibah, masyarakat Amerika nyaris menghadapinya tanpa hati dan perasaan. Ini pernah terjadi saat Sayyid Quthb berada di Rumah Sakit George Washington. Saat itu, sore hari, tidak biasanya rumah sakit tampak demikian gaduh. Para pasien yang biasa berjalan melangkah berlarian menuju tempat dimana telah banyak manusia berkumpul. Mereka bertanya-tanya tentang kegaduhan yang tiba-tiba merobek ketenangan suasana rumah sakit.
Tidak butuh waktu berapa lama, diketahui bahwa salah seorang pegawai rumah sakit tertimpa musibah dimana secara tidak sengaja tubuhnya telah tertimpa oleh kotak lift yang cukup berat. Melihat panorama itu, nukannya membantu sang korban, salah seorang diantara mereka justru menceritakan kepada sang korban sambil tertawa terbahak-bahak. Ya meski keadaan pegawai malang itu dalam kondisi sekarat dengan lidah yang telah terjulur kaku. “Saya menanti reaksi kemarahan atau kecaman dari orang-orang yang mendengarnya. Tapi-tapi sia-sia, para pendengar yang semakin banyak malah ikut tertawa dengan gaya peniruan yang keji itu,” tutur Sayyid Quthb.
Kisah lain lagi didapat dari seorang teman Sayyid Quthb yang bercerita kepadanya mengenai murahnya harga ukhrawi dalam benak bangsa Amerika. Kala itu kawan Sayyid Quthb menghadiri acara kematian salah seorang warga Amerika. Dengan lumuran balsam, sebuah jenazah dibaringkan di tengah rumah semata-mata menunggu ucapan duka yang mengalir oleh para kerabat.
Uniknya, ketika acara itu berakhir, kawan Sayyid Quthb ini begitu terkejut melihat orang-orang Amerika justru bercanda di sekitar jenazah. Sang Istri dari mayit itupun tidak menampakkan gurat kesedihan sedikit pun. Ia malah ikut tertawa membelah ketenangan mayat yang dingin di sekitar tubuh yang telah terbungkus kafan. Mereka sama sekali tidak menyiratkan hati penuh duka bagai diselimuti keibaan pasca ditinggal keluarga tercinta selama-lamanya.
Kisah lain juga didapat ketika salah seorang ustadz di Washington mendapat undangan pesta bersama istrinya. Dalam penuturan Sayyid Quthb, sebelum berangkat, istri sang ustadz mendadak sakit. Maka demi menemani ujian yang diterima istrinya, beliau menelepon dan mengabarkan bahwa beliau tidak dapat menghadiri karena alasan tersebut. Tetapi penyelenggara pesta mengatakan, bahwa ia bisa hadir walau tanpa istri. Kata sang penyelenggara, “Jangankan baru istri yang ditinggal sakit, sedang di pesta ini ada salah seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya tapi tetap menghadiri pesta yang tengah dirayakan.”
Sang penyelenggara itu pun kemudian mengatakan kepada ustadz ini, “Bukankah satu keberuntungan jika Ustadz bisa menemuinya,” tentu dengan bahasa sedikit nakalanya. Lantas, betapa kagetnya sang ustadz, karena bagaimana mungkin bahwa seorang istri sudah menghadiri sebuah pesta padahal jenazah sang suami masih berbaring dirumah. Ini sama sekali tidak masuk akal, selain naluri kemanusiaannya telah tergerus kepada hingar bingar dunia.Mengenai kejadian ini Sayyid Quthb berkisah,
“Ingatanku kembali melayang pada suasana yang memberi pengaruh yang dalam pada perasaanku…. Kami memelihara burung di rumah. Suatu hari kami menyembelih salah satu di antaranya. Lantas betapa kami terkejut, ketika melihat burung-burung lainnya berdiri dan berkeliling dengan tenang menatap burung yang kami sembelih. Pemandangan tersebut adalah suatu kejutan yang tidak diharapkan oleh seekor burung yang walau tidak memiliki derajat yang tinggi, tetapi merupakan hantaman yang membuat kami tidak lagi menyembelih seekor burung di hadapan kelompok burung yang lainnya.”. Subhanallah
Sayyid Quthb menjelaskan akar dari permalasahan ini bermula dari kekeliruan bangsa Amerika dalam memandang masalah. Menurutnya, dalam menilai suatu masalah, pendapat antara manusia yang satu berbeda dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan prinsip yang digunakan tiap-tiap orang dalam menilai suatu persoalan, sebagai konsekuensi adanya perbedaan maka berbeda pula hasil kesimpulannya.
Pada titik inilah Sayyid Quthb membongkar bahwa kesuksesan bukanlah berdasarkan materi. Kesukesan bukanlah dapat diukur dari panjangnya gedung-gedung tinggi. Karena materialisme adalah lubang yang digali jahiliyyah untuk mengubur naluri rabbani seorang manusia. Ia adalah jebakan teramat halus yang menjauhkan umat manusia dari fitrahnya. Sayyid Quthb akhirnya menulis,
“Oleh karena itu, sudah seyogyanya umat Islam tidak memandang Amerika segala-galanya. Bangsa Amerika adalah orang yang dungu dan lugu apabila kita memandangnya dari lensa keimanan, ya meski jumlah mereka besar sekali di berbagai Negara dan mereka memiliki kontrol terhadap pendidikan di negeri-negeri muslim.” (pz/bersambung)