Menurut Sayyid Quthb, Islam adalah pedoman hidup yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam adalah agama terbaik, sempurna, dan mencakup seluruh sendi kehidupan. Menurut Sayyid Quthb penyerahan total manusia kepada Islam, tidak bisa hanya sebatas pengakuan lisan, namun juga harus dibuktikan kepada amal perbuatan. Maka itu Sayyid Quthb mengatakan bahwa umat Islam haruslah berhukum kepada hukum Allah dan menolak segala jenis hukum yang dibuat oleh manusia.
Bahkan Sayyid Quthb mengecam pencampuran hukum Allah dengan hukum manusia lalu berkesimpulan bahwa kedua hukum itu dapat disatukan. Oleh karenanya, ia tergolong aktivis Ikhwan yang menolak keras istilah yang dikeluarkan oleh kalangan Barat maupun umat muslim seperti Demokrasi Islam, Sosialisme Islam, Teokrasi Islam, dan lain sebagainya.
Ditengah-tengah kesibukannya melaksanakan tugas, Sayyid tetap melanjutkan kegiatannya dengan menulis artikel di berbagai majalah di Amerika, antara lain majalah yang terbit di Colorado. Ketika di Amerika itu pulalah Sayyid Quthb pernah mendapat tawaran imbalan 10.000 US Dollar untuk penerjemahan salah satu bukunya, yakni Al Adalat al Ijtima’iyya fi al Islam, ke dalam bahasa Inggris. Tetapi tawaran ini ditolaknya, dan dia memberikan hak terjemahan bukunya tersebut secara cuma-cuma kepada American Institute for Social Studies, John B. Hardy, seorang perofesor dari Hulfix University, Kanada, yang kemudian bertindak sebagai penerjemahnya.
DR. Afif Muhammad, yang membuat disertasi tentang Sayyid Quthb menilai bahwa sesungguhnya hingga keberadaannya di Amerika itu, Sayyid Quthb belum banyak memberikan andil secara praktis dalam kehidupan politik dan pergerakan Islam di negaranya, Mesir. Kecuali lewat tulisan-tulisannya sampai akhirnya dia berhadapan dengan fakta-fakta yang mengguncangkan jiwanya, dan sekaligus membuka matanya tentang banyak hal selama ini belum disadarinya.
Dan salah satu peristiwa yang menyakitkan hatinya adalah reaksi orang-orang Amerika terhadap pembunuhan Hasan Al Banna pada bulan Februari 1949. Saat itu Sayyid Quthb sedang dirawat di rumah sakit di Amerika, dan dia menyaksikan luapan kegembiraan dan sukacita yang diperlihatkan masyarakat Amerika melalui semua hal yang ada di sekitarnya, baik surat kabar, media masa lainnya, dan di tempat-tempat pertemuan di seluruh Amerika. Semuanya menyatakan kegembiraan dan saling memberikan ucapan selamat atas terbebasnya mereka dari ancaraman seorang laki-laki di Timur (baca: Hasan Al Banna).
Sementara itu, perkenalan Sayyid Quthb dengan John Houritz Dunn, seorang intelejen Inggris yang menetap di Amerika, juga semakin menyadarkan dirinya tentang perjuangan Hasan Al Banna dan Ikhwanul Muslimin selama ini. Anggota Intelejen Inggris yang kemudian masuk Islam dan menganti namanya menjadi Jamaluddin Dunn ini berkali-kali mengundang Sayyid Quthb datang ke rumahnya.
Dalam salah satu pertemuan itu, Dunn menyodorkan berbagai dokumen tentang rencana-rencana Inggris dan Amerika di Mesir, khususnya sikap mereka terhadap Ikhwanul Muslimin sejak organisasi ini didirikan di Ismailia pada tahun 1928 hingga terbunuhnya Hasan Al Banna tahun 1949. Dalam dokumen itu disebutkan pula bahwa apabila Inggris angkat kaki dari Mesir, maka Amerikalah yang akan menggantikan tempatnya.
Melihat kenyataan seperti itu, maka Sayyid Quthb mengatakan, “Kini terungkaplah kebenaran itu, dan saya yakin bahwa organisasi ini (Ikhwanul Muslimin) berada di pihak benar, dan pasti tidak ada ampunan untuk saya di sisi Allah manakala saya tidak mengikutinya. Lihatlah Amerika ini. Ia berusaha menindas Hasan Al Banna, dan Inggris pun mengerahkan seluruh personil dan media propagandanya, bahkan di Amerika Serikat sekalipun, untuk memerangi Ikhwanul Muslimin. Karena itu saya tegaskan, pada diri saya bahwa saya bergabung dengan Ikhwanul Muslimin saat saya belum lagi keluar dari rumah intelejen Inggris ini.”
Dan sejak saat itulah, Sayyid Quthb memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti daripada sekedar menulis artikel dan buku-buku. Bersamaan dengan itu, terjadi perubahan situasi politik di Mesir. Pengaruh dan kekuasaan Raja Faruq semakin merosot dan perlawanan terhadap Inggris semakin meningkat. Kendati masa tugasnya di Amerika tidak dibatasi, namun dia memutuskan untuk segera kembali ke negerinya, dan dia tiba di Mesir pada tanggal 20 Agustus 1950. Dengan demikian, periode ini bisa kita sebut sebagai periode peralihan dari seorang akademisi, budayawan, ke dunia pergerakan.
Pandangan Sayyid Quthb terhadap Hasan Al Banna diliputi penghormatan yang kuat. Ia memuji Hasan Al Banna sebagai pribadi jenius yang menggerakan Ikhwan dalam membumikan akidah Islam di Mesir. Perihal kata ‘Banna’ pada Hasan Al Banna, Sayyid Quthb sendiri pernah membahasnya lewat artikelnya yang berjudul ‘Hasan Al Banna Dan Kejeniusan Pembangunan’ yang terangkum dalam buku ‘Dirasah Islamiyah’. Dengarlah petikan tulisan Sayyid Quthb berikut ini:
“Nama Hasan Al Banna adalah suatu kebetulan bahwa hal ini adalah suatu kebetulan saja. Suatu kenyataan yang besar adalah bahwa laki-laki ini memang betul-betul Bana, yaitu pembangunan, Malah ia orang yang membangun dengan baik, malah juga seorang jenius pembangunan. Aqidah Islam telah banyak mengenal juru da’wah. Tetapi seruan itu tidak membangun. Tidak semua ju’ru da’wah sanggup untuk menjadi pembangunan. Tidak semua pembangunan mempunyai suatu kejeniusan yang hebat dalam pembangunan ini.”
Selanjutnya, kecaman Sayyid Quthb kepada Amerika semakin menjadi-jadi. Sayyid Quthb menungkapkan bahwa dunia Eropa dan Amerika sebenarnya bagai dua sisi mata uang yang berdiri dalam satu barisan sama untuk menghadapi dunia Islam. “Jiwa salibis yang dari dulu adalah tetap, tidak berubah.” ujarnya
Sayyid Quthb kemudian berusaha menyadarkan umat muslim yang telah lupa terhadap kekejian Amerika karena ada dikalangan umat muslim yang menyebarkan propaganda tentang misi Amerika untuk berbuat baik kepada bangsa-bangsa yang diperbudak olehnya. Padahal umat muslim sudah menyadari bagaimana luka bangsa Palestina yang dilakukan oleh Amerika. “Luka-luka dunia Islam mengucurkan darah di setiap tempat, sementara Amerika berdiri menonton bahkan mendukung kolonial yang kotor,” tukas Sayyid Quthb. (pz/bersambung)