Orang-orang Amerika adalah pemilik gereja paling banyak di dunia. Tetapi mereka, termasuk orang yang paling jauh perasaan keagamaannya terhadap kesucian agama itu sendiri. Dari dulu sampai sekarang, gereja terkenal sebagai tempat ibadah agama Kristen. Tetapi bagi Amerika, agama bukan lagi dominasi kesucian, namun sudah menjadi domain syahwat manusia. Ya sebuah pemandangan yang sama sekali tidak pernah kita temui dalam Islam.
Perjalanan Sayyid Quthb kali ini meretas tentang hubungan gereja dan pemuda di Amerika. Ia menuliskan kisah ini masih di Majalah Ar Risalah tertanggal 9 November tahun 1951.
Sulit rasanya untuk dinalar bagaimana sebuah tempat ibadah dalam suatu agama memiliki fungsi ganda lagi bertolak belakang: menjaga kesucian dan meruntuhkannya di saat bersamaan. “Bermaksiat” di tempat Ibadah adalah hal yang lumrah dilakukan pendeta untuk menarik kuantitas jama’ah, alasannya bisa menjadi tidak masuk akal, yakni agar Kristen memiliki daya pikat dan tidak lantas pusing ditinggalkan pemeluknya. “Bahkan mayoritas pengunjung Gereja menanggapinya sebagai tradisi yang vital untuk menghabiskan memuaskan nafsu primitif manusia,” begitu bahasa Sayyid Quthb.
Sepanjang tinggal di Amerika, Sayyid Quthb melihat bahwa kebanyakan gereja di Amerika mempunyai perkumpulan yang terdiri dari pria dan wanita. Hal ini didasari karena pengurus tiap gereja ingin menampung anggota sebanyak-banyaknya. Amerika memang Negara unik, Kristen lantas “memperparah” untuk memperunik cerita itu. Di Amerika memang terjadi sebuah persaingan antara masing-masing gereja dari berbagai aliran. Mereka berlomba dengan berbagai cara, guna menarik perhatian masa ke aliran masing-masing gereja. Bahkan itu dilakukan dengan memakai gadis-gadis cantik yang pandai menyanyi, menari, penuh daya pikat atau setidaknya memasang selebaran dan membubuhkan beraneka warna cahaya di pintu-pintu gereja.
Sayyid Quthb sendiri kebetulan pernah mendapati kejadian lucu itu. Di kampusnya, terpampang sebuah pengumuman tentang pesta gereja yang diletakkan di ruang pertemuan para mahasiswa. Maklumat itu betul-betul diperhatikan Sayyid Quthb karena berbunyi:
“(Datanglah, red.) Pada minggu pertama bulan oktober, jam 6 sore dengan hidangan ringan, permainan menarik, teka-teki, berbagai perlombaan serta hiburan.”
Perihal pengumuman itu, Sayyid Quthb langsung mengomentari,
“Ini tidaklah mengherankan, karena pengurus gereja tidak merasa bahwa pekerjaannya tidak beda dengan seorang Direktur Panggung Sandiwara atau pengurus tempat perdagangan. Yang terpenting bagi mereka adalah kesuksesan (mengeruk jama’ah, red.), sedang cara tidaklah begitu dipikirkan."
Hal itu pernah dibuktikan saat Sayyid Quthb sendiri saat berada di Kota Griley, Colorado. Saat itu, pemuda soleh ini berkesempatan untuk menghampiri sebuah gereja. Setelah kebaktian gereja berakhir, nyanyian-nyanyian gereja kemudian mengalun. Turut ikut serta para pemuda-pemudi bersama anggota perkumpulan lainnya. Padahal di waktu bersamaan, sebagian yang lain masih bersembahyang di gereja, bayangkan. Sayyid Quthb pun keluar melalui pintu samping menuju ruang dansa yang persis bersebelahan dengan tempat jama’ah tengah bersembahyang. Dua pemandangan kontras ini hanya dihubungkan dengan sebuah pintu.
Ruang dansa gereja itu sendiri diterangi dengan cahaya-cahaya kemilauan. Lampu berwarna merah, kuning, biru, serta putih pun menyelimuti suasana gereja silih berganti. Persis ruangan disko. Tidak berapa lama, pendeta memutar irama lagu-lagu romantis. Sang pendeta juga mendorong para pemuda dan pemudi yang masih setia berdiam diri untuk turun berdansa menikmati alunan nada. Karena merasa keterangan lampu mampu merusak suasana yang cukup romantis itu, maka sang pendeta pun nekat memadamkannya.
Walhasil, cahaya remang-remang pun akhirnya menyulap wajah sebuah gereja menjadi sebuah café dansa khas Amerika. Dan untuk menggenapi aroma temaram itu, sebuah lagu Amerika ternama berjudul, “But Baby, it’s cold outside” (Tapi Sayang, udara diluar dingin, red.) pun mengalun menemani keheningan malam.
Awal kenapa lagu ini yang dipilih, Sayyid Quthb memiliki cerita tersendiri. Lagu yang ngetrend di Amerika tahun 50-an itu berisi tentang gambaran psikologi muda-mudi Amerika pada umumnya. Berisi dialog antara sepsang kekasih yang baru saja kembali dari acara mereka. Dikisahkan bahwa sang pemuda menahan gadisnya untuk tetap di rumahnya, namun sang gadis menolak. Alasan gadis itu cukup masuk akal: malam kian larut sedang ibunya menunggu dirumah. Walhasil untuk meluluhkan hati sang kekasih, sang pemuda pun menjawab: tetapi sayang, udara diluar dingin.
Lantas apa hubungannya antara lagu ini dengan sebuah gereja? Lagu ini memiliki pesan menyeluruh kepada seluruh pemuda. Pesan itu adalah untuk berlama-lamaan dahulu di gereja karena cuaca dingin tidak memungkinkan tiap pemuda mengantar kekasihnya pulang ke rumah. Sebuah tafsiran menjijikkan menjurus konyol yang menjadi cara terakhir yang dilakukan antek-antek kafir Amerika dalam menarik jama’ahnya. Ironis.
Kita kembali lagi ke sang pendeta. Kini wajahnya sumringah. Ia gembira bahwa misinya telah berhasil. Muda-mudi itu semakin betah di gereja. Lantas sang pendeta pun meninggalkan ruangan untuk kembali ke rumah. Ya meninggalkan sekumpulan pasangan yang tidak lagi bisa membedakan mana café dan mana tempat ibadah. Mana sebuah kesucian yang diberikan Tuhan untuk tidak mengotorinya dengan hedonitas dan mana arti syahwat libido mereka.
Kisah lain kini datang dari seorang pendeta yang berbicara kepada teman Sayyid Quthb dari Irak. Masih dalam tulisannya di Majalah Ar Risalah, dalam bab “Pendeta dan Laki-Laki Brengsek”, Sayyid Quthb menjelaskan kisah ini dengan sangat gamblang.
Awalnya ini dimulai dari rasa penasaran teman Sayyid Quthb itu perihal seorang kawannya bernama Mary yang saat itu tidak terlihat di gereja. Mendengar pertanyaan dari rekan Sayyid Quthb itu, guratan muka sang pendeta menampilkan kesedihan. Ia merasa iba bukan karena perkara jumlah jama’ah yang datang ke gerejanya berkurang menjadi satu karena keabsenan Mary. Namun situasinya betul-betul diluar sangkaan kita semua. Pendeta itu malah menjelaskan bahwa tidaklah penting baginya ketika semua wanita tidak hadir, asalkan seorang Mary bisa hadir. Benak teman Sayyid Quthb ini pun diliputi rasa aneh menyaksikan jawaban sang pendeta.
Ia lantas balik bertanya mengapa sang pendeta berfikiran seperti itu, dan sang pendeta itu pun menjawab, “Mary demikian menarik. Mayoritas pemuda sendiri menghadiri gereja karena dia (pesona Mary, red.)”. Bayangkan betapa rusaknya moral seorang pendeta yang rela menukar kesucian seorang wanita demi kuantitas masa pengunjung. Barangkali, baginya, derajat kehadiran Mary lebih tinggi dari Yesus.
Cerita lain pun datang dari serorang pemuda Arab yang tengah meniti studi di Amerika. Pemuda itu bernama Abul Atahiah. Seperti pemuda Amerika pada umumnya, Abul Atahiah memiliki seorang kekasih. Abul kerap berkisah tentang gadisnya. Ia mengaku sering mengalah dan berusaha melepaskan sang kekasih untuk menyanyi di gereja. Bagi pemuda Amerika itu, waktu bersenda bersama sang kekasih adalah titik puncak kebahagiaan pasangan muda-mudi Amerika dan tidak boleh diganggu acara apapun, termasuk agama.
Walhasil, kekasih Abul kerap terlambat datang ke gereja. Bapak pendeta pun menuding Abul Atahiah adalah orang yang menyebabkan sang gadis terlambat menghadiri sembahyang. Menariknya, sang pendeta hanya akan berkata seperti itu jika sang gadis datang sendiri ke gereja tanpa kehadiran Abul. Tetapi jika, gadis itu berhasil menarik Abul Atahiah untuk mau ke gereja, maka meski ia terlambat, hal itu tidak menjadi masalah bagi bapak pendeta.
Dari segala kejadian diatas, akhirnya para pendeta itu mengutarakan isi hatinya kepada Sayyid Quthb. Secara jujur, mereka mengakui bahwa sesungguhnya tidak dapat lagi menarik pemuda ke gereja kecuali dengan cara-cara seperti di atas. Rasa-rasanya, mereka sudah kehabisan akal dan cara untuk membumikan agama Kristen di Amerika. Para pemuda pun tidak pernah menanyakan ke dalam diri mereka sendiri apakah tujuan mereka pergi ke gereja murni untuk ibadah atau hanya karena perempuan.
“(Mereka) sekedar bepergian itulah tujuannya. Itulah situasi yang sangat dikenal oleh siapapun yang hidup di Amerika,”cetus Sayyid Quthb.
Ikhwahfillah tentu kejadian diatas sama sekali tidak pernah terfikirkan dalam agama kita, yaitu Islam. Kita sama sekali tidak habis fikir jika seorang ustadz menarik para pemuda ke mesjid lewat tampilan seorang perempuan. Kecuali ustadz itu memang sudah sinting dan bergeser tapal imannya.
Kita juga tidak pernah melihat bahwa masjid dijadikan tempat jamaah laki-laki dan wanita berdansa sementara ada seorang imam sedang mendirikan shalat jama’ah di hadapannya. Kecuali mereka adalah jama’ah aliran sesat yang telah menghalalkan segala cara demi pemuasan nafsu mereka. Inilah fitrah dari ajaran kekafiran yang telah menyimpang dari awalnya. Tidakkah mereka terfikir bahwa mereka hanyalah menambal sulam ajaran agamanya, karena Allah sendiri tidak mengakui status keimanan mereka akibat kekeliruannya memandang agama.
Sayyid Quthb pun akhirnya sadar. Ia merasa prihatin terhadap masyarakat Mesir yang menjadikan Amerika sebagai standar nomor satu dalam kehidupan. Yang menjadikan gereja Kristen Amerika sebagai kiblat keagamaan, karena apa yang dilihatnya jauh dari bayangan bangsa Mesir.
“Akan tetapi saat saya kembali ke Mesir, maka saya dapati orang yang berbicara atau menulis tentang gereja di Amerika, sedang ia belum pernah melihat Amerika sesaat pun dan tentang peranannya dalam perbaikan sosial dan kesialannya dalam menyucikan hati dan mendidik roh,” ujar Sayyid Quthb.
Ya gereja-gereja Amerika yang tidak lebih dari sebuah tempat mesum dan seorang pendeta yang tidak lebih dari seorang laki-laki brengsek. Maka itu, ini sudah seharusnya ditanamankan oleh tiap aktivis muslim untuk tidak tergelincir karena fitnah wanita yang biasa dijadikan medium orang-orang kafir menghancurkan agama kita.
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman, padahal orang-orang yang bertakwa lebih mulia daripada mereka di hari Kiamat. Dan, Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang kehendaki-Nya tanpa batas." (Al Baqarah: 212). (pz/bersambung)