Ide emansipasi Kartini hanyalah hasutan teman-teman diskusinya. Di antaranya adalah Rosa Abendanon, istri JH Abendanon, menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan pada masa kolonial. Naskah-naskah asli surat-surat Kartini tidak jelas statusnya dan tak jelas keberadaannya. Buku Kartini terbit pada saat pemerintah kolonial sedang mengkampanyekan politik etis di Hindia Belanda.
Dari sisi kaum feminisme, aliran yang 11-12 dengan ide emansipasi wanita seperti yang diperjuangkan Kartini, fakta hidup Kartini tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam surat-suratnya. Kartini sendiri menjadi istri keempat bupati Rembang.
Kalau menurut anda pahlawan wanita yang memperjuangkan peningkatan derajat kaum wanita hanya Kartini, maka anda salah.
Dewi Sartika, wanita kelahiran Bandung, 4 Desember 1884, adalah tokoh perintis pendikan untuk perempuan yang terlupakan oleh generasi bangsa ini. Dewi Sartika diakui sebagai pahlawan nasional 2 tahun sejak Kartini diakui, yakni pada 1966.
Berbeda dengan Kartini yang mendirikan sekolah hanya untuk kaum priyayi dan bangsawan, Dewi Sartika sejak berumur 10 tahun sudah menyebarkan ilmu baca-tulis dan bahasa Belanda kepada perempuan-perempuan dari rakyat jelata, kebanyakan dari anak-anak pembantu di kepatihan. Tak heran perbuatan Dewi Sartika membuat kehebohan karena pada masa itu tidak mungkin anak rakyat jelata bisa baca-tulis, apalagi belajar bahasa Belanda!
Sekolah Kartini adalah sekolah khusus priyayi atau Bangsawan. Adalah hal lazim bagi keluarga bangsawan bisa baca-tulis mengingat mereka memang diizinkan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, meski tidak sampai jenjang tinggi.
Sekolah Kartini berasal dari fasilitas atau kekayaan suami dan keluarganya yang kebetulan memang pembesar di Jepara waktu itu.
Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda dengan harta dan tabungan pribadinya sendiri ketika ia membeli sebidang tanah dan mendirikan sekolah di sana. Memang, tidak murni seluruhnya harta pribadi, karena bupati Bandung pun ikut menyumbang, tapi dalam perkembangannya, biaya renovasi dan perawatan sekolah menggunakan harta pribadi Dewi Sartika sendiri hingga berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).
Bertahun-tahun setelah itu Sakola Istri menginspirasi perempuan-perempuan Sunda untuk mendirikan sekolah-sekolah serupa. Sehingga pada tahun 1920 tiap kabupaten di Pasundan memiliki sekolah perempuan, bahkan Sakola Kautamaan Perempuan menyebar hingga Bukittinggi yang didirikan oleh Encik Rama Saleh.
See, tidak hanya di daerah Jepara dan Rembang.
Namun rekayasa kolonial mengerdilkan nama Dewi Sartika dan jasa-jasanya kepada perempuan, rakyat biasa, bangsa ini. Pemerintah kolonial lebih suka “menerbitkan” Kartini ketimbang Dewi Sartika. Ini tidak aneh, mengingat Ayah Dewi Sartika, Raden Rangga Somanegara, adalah seorang anti pemerintah kolonial Belanda. Rangga Somadinata sendiri dibuang pemerintah kolonial ke Ternate hingga meninggal disana.
Jelas terlihat, jika Kartini berasal dari keluarga bangsawan yang berkolaborasi dengan penjajah, Dewi Sartika memang lahir dari keluarga pejuang dan berjuang untuk melawan penjajahan melalui pencerdasan kaum perempuan. Jika Kartini hanya beretorika emansipasi perempuan melalui surat-suratnya, Dewi Sartika tidak. Dewi Sartika konsisten menolak dijadikan istri muda atau selir dan praktik langsung menjadi guru di sekolah-sekolahnya.